Langsung ke konten utama

Share Thoughts: About God


Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini:
1.       Stres saat memikirkan masa depan
2.       Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu
3.       Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang

Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya?
Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya.

Beruntung?

Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—semua akses terbuka karena terlahir dengan hak istimewa yang tak pernah ia minta. Lotre dan berjudi  mungkin itu hobi Tuhan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang dilahirkan ketika Tuhan sedang menang lotre/berjudi.

Kebiasaan buruk Tuhan memang.

Aku tidak bisa mengekspresikan kehidupanku sekarang dengan kata-kata yang baik. Aku selalu merasa hidupku adalah nasib buruk. Mungkin Tuhan sedang tidak beruntung saat ia menciptakanku.

Rasanya aku sebaiknya mati saja, Toh tidak ada bedanya, bukan? Mati tetap menjalani hari pembalasan, semakin lama aku hidup semakin banyak dosa yang akan aku perbuat. Sebelum aku mendapatkan banyak karma setelah kematian, mengapa tidak aku mati saja sekarang?

Jawabannya mudah: Bunuh diri itu dilarang.

Lalu? Nasibku adalah… hidup bergelimang dosa, lalu mati, lalu menjalani karma. Mungkin itu yang Tuhan mau. Melihat apa yang ia ciptakan mendapat banyak masalah. Tuhan itu haus kehormatan, ia sebenarnya kejam dan tak bertanggungjawab. Menciptakan dunia untuk permainannya saja. Ciptakan dunia, lalu hancurkannya. Manusia dapat karma setelah kematian, bahkan ketika manusia-manusia itu tidak pernah diberi pilihan untuk lahir atau tidak, ia tetap mendapatkan siksaan. Malangnya kita. Sangat ironis dan malang.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar