Langsung ke konten utama

Aku Tidak Ingin Menjadi Orang "Sukses"

Kita telah dituntut sejak kecil untuk mempunyai cita-cita yang besar. Aku ingat saat masih SD, temanku memberikan satu lembar kertas untuk mengisi biodata diri. Seperti nama, tanggal lahir, makanan/minuman kesukaan, cita-cita, dll. Entah mengapa hal tersebut menjadi trendy pada saat itu, namun yang aku ingat adalah aku selalu mengisi kolom cita-cita dengan "ingin menjadi orang yang sukses". Hal ini kalau tidak salah ingat disebabkan oleh narasi 'menjadi orang sukses' yang ditanamkan di sekolah dasar waktu itu. Suatu waktu aku pernah ditanya oleh orang tuaku, "kamu nanti kalau udah besar mau jadi apa?" Kemudian aku menjawab, "ingin menjadi pelukis" Kemudian orang tuaku malah menertawakanku, yang aku ingat betul tawanya memberikan sensasi "meremehkan".

Sejak saat itu aku sering memperhatikan jawaban teman-temanku waktu ditanyai oleh seorang guru dengan pertanyaan yang sama, soal cita-cita. Jawaban mereka selalu sama,  yaitu diantara pilot, astronot, dokter, polisi, atau guru. Kemudian tak jarang juga beberapa temanku menjawab "ingin menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua!" dengan lantangnya. Aku yang masih kecil saat itu akhirnya terjerumus ke dalam narasi bahwa cita-cita yang luhur adalah menjadi orang yang sukses dan orang yang sukses adalah menjadi pilot, astronot, dokter, polisi, atau guru. 

Setelah beranjak remaja, ketika aku ditanyai kembali oleh orang tuaku apa yang menjadi cita-citaku, aku hanya menjawab sealakadarnya saja. Kadang aku jawab, "belum tahu". Atau sesekali bilang seperti orang lain, "jadi guru saja". Tanpa rasa antusias atau niat yang pakem aku hanya menjawab seadanya, sebab aku tak pernah punya ambisi untuk menjadi apapun. Sebenarnya di waktu luang, aku punya hobi bermain musik. Aku menyukai seni musik sejak SMP. Aku sering bernyanyi dan bermain gitar sendirian di kamar, merekamnya lalu aku upload lewat media sosial, namun aku tak pernah membayangkannya menjadi sebuah cita-cita, misalnya menjadi penyanyi atau pemusik handal. Suatu hari kakakku bilang, "Ayo, ikutan indonesian idol saja. Kakak bakal antar kamu audisi." 

Aku perlihatkan keengganan yang luar biasa ketika mendengar ajakan kakakku. Aku bilang, "Enggak mau, lagian untuk apa menyanyi dilombakan? Aku tak ingin menjadi terkenal juga." 

Saat itu hingga sekarang aku tak pernah mengerti mengapa ada ajang kontes antar seniman. Aku selalu menganggap seni itu sesuatu yang membebaskan dan semua orang punya warnanya sendiri. Tidaklah masuk akal jika seorang penyanyi musti bernyanyi karena demi memenangkan popularitas, bukan karena dia senang bernyanyi. Kemudian, aku tak pernah suka dengan kontroversi selebriti Indonesia yang hampir setiap hari ditonton oleh kakak perempuanku. Acara gosip hanya mempertontonkan kehidupan pribadi selebriti, lalu ditanggapi oleh seleb-seleb lain. Jika menjadi terkenal berarti kita harus menjual kehidupan pribadi kita, aku lebih memilih untuk jadi orang biasa saja. 

Akhir-akhir ini aku baru mengerti sikapku yang tak pernah ambisius terhadap apapun itu ternyata telah tumbuh sejak kecil, mengakar hingga sekarang. Hari ini, saat sudah dewasa, aku tak punya kemampuan apapun yang luar biasa dalam menguasai sesuatu dan aku tak pernah punya motivasi yang cukup untuk sampai pada level "mahir". Semuanya serba biasa, sedang-sedang saja. 

Saat ini menjadi medioker atau orang biasa-biasa saja adalah tujuan hidupku. Meskipun pada waktu-waktu tertentu aku sering mengasihani kehidupanku yang gini-gini saja. Sebab aku terlampau sering membandingkan diriku dengan orang lain. Selain itu, narasi "menjadi orang yang sukses" telah tertancap dipikiranku sebagai sesuatu yang ideal dilakukan oleh semua orang. Sehingga, seringnya aku pun merasa bersalah karena tak pernah punya ambisi apa-apa untuk menjadi sesuatu yang besar.

Belakangan aku kepikiran sesuatu yang sepertinya akan aku simpan sebagai prinsipku setiap harinya:

Aku tidak ingin menjadi seorang pemain utama, cukup menjadi seorang penonton yang mendukung para pemainnya bersinar di atas panggung.

Cukup lantang aku mengungkapkan hal ini kepada diriku sendiri. Setelah melalui perjalanan kontemplasi yang panjang, aku menemukan bahwa menjadi supporter membawaku pada kehidupan yang penuh rasa syukur. Aku merasa cukup dengan mendengarkan cerita para pemain utama, lalu tersenyum bangga ketika mereka bersinar di atas panggung. Memberikan tepuk tangan meriah ketika mereka dapat pujian. 

Aku mencoba memahami "sukses" yang lain bagi diriku sendiri, yaitu: dengan menjadi biasa-biasa saja. Aku tidak ingin hidup terlalu glamor, punya banyak materi, dipuja-puji. Setelah dipikir-pikir, kebanyakan materi juga malah menambah pikiran untuk mengurus dan mempertahankannya. Misalnya ketika punya banyak aset, kita harus bayar pajak yang setara dengan aset tersebut, selain itu juga kita harus tau cara memelihara aset tersebut, kemudian memikirkan biaya pemeliharaannya untuk jangka panjang. Pikiranku rasanya mau meledak jika terus-terusan memikirkan sesuatu yang besar berbentuk materi atau hal lain yang orang-orang katakan "kesuksesan".

Aku tidak ingin menjadi orang yang "sukses". Aku ingin menjadi orang yang "cukup" bagi diriku sendiri maupun orang lain. Aku tak ingin menjadi seseorang yang berlebihan bagi diriku maupun orang lain. Aku ingin menikmati hal-hal kecil sebagai tujuanku untuk terus punya semangat hidup setiap harinya. Hal-hal kecil itu seperti membersihkan kamarku setiap hari Rabu atau mencuci piring agar bak cuci piring tidak bau dan menjadi sarang kecoa. Aku tak berharap menjadi seorang bintang yang bersinar, aku cukup menjadi orang di belakang bintang tersebut untuk menanyakan kabarnya setiap hari, membuka diri untuk menjadi tempat bercerita dan pemberi support. Aku tak perlu menjadi mentari yang menyinari alam semesta, aku hanya perlu menyerap sinarnya, sehingga aku pun selalu punya cukup cahaya untuk terus bertahan dalam kegelapan. 

Jadi, tak apa jika diantara kalian ada yang bingung ketika ditanyai "cita-cita" atau merasa kecil saat membandingkan diri dengan orang lain yang punya ambisi besar untuk "sukses". Tak apa jika kalian merasa hidup kalian biasa-biasa saja. Hal terpenting adalah kalian bisa menjalani hari-hari kecil kalian dengan penuh rasa syukur, entah itu ketika selesai membereskan kamar yang kotor, mencuci piring, makan hanya dengan sayur asem dan kerupuk, mandi air hangat/air dingin setelah hari yang melelahkan, memberi makan kucing kampung, atau meminum teh hangat di pagi hari sambil membaca buku. Kalian bisa menghentikan kebiasaan kalian membandingkan diri dengan orang lain karena sinar mereka lebih terang. Biarkan saja orang lain yang bersinar terang, kita hanya cukup menyerap sinarnya lalu membuat kita bersinar seadanya. Kemudian bersyukur atas sinar yang mereka pancarkan, sambil mendo'akan agar mereka terus bersinar. Kita bersyukur atas keberadaan mereka, sebab kita pun dapat secerca harapan untuk menjalani hari-hari kecil kita. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar