Awalnya aku pikir cerita ini akan membandingkan kehidupan kota dan desa, di mana kehidupan di desa itu lebih baik daripada kehidupan di perkotaan. Pada awal bab, Tolstoy seperti ingin memberikan pandangannya bahwa dunia perkotaan itu penuh dengan ketidakpuasan. Ketika hidup di perkotaan, kebutuhan dasar kita yang sebenarnya sederhana, menjadi sangat rumit karena kehadiran iklan-iklan yang terpasang di setiap sudut keramaian. Iklan tersebut seperti memberi ilusi bahwa kebutuhan kita itu banyak dan salah satunya bisa didapatkan di toko mereka. Godaan-godaan seperti pencapaian akan sesuatu, produktivitas, yang akan membawa gaya hidup berlimpah materi juga terpampang pada gambaran 'kota'. Dalam tulisannya Tolstoy mengatakan,
"kehilangan dan pencapaian adalah saudara kembar"
Tolstoy seakan mengatakan bahwa pencapaian itu adalah sia-sia saja karena untuk mencapai sesuatu kita harus mengorbankan sesuatu. Maka, itulah yang terjadi pada kehidupan sang karakter dalam cerita yang bernama Pahom. Satu hal yang menarik adalah Pahom ini bukanlah orang yang hidup dalam modernisasi perkotaan, namun di pedesaan sebagai petani. Ia bekerja setiap hari bersama istrinya dengan pekerjaan yang memberatkan fisik. Meskipun istrinya sempat membahas bahwa ia hidup berkecukupan sebagai petani, namun Pahom tidak pernah merasa cukup dengan tanah yang ia punya. Kisah ini menceritakan keserakahan Pahom yang terus-terusan berjuang untuk memiliki kekayaan pribadi berupa tanah yang seluas-luasnya. Tolstoy terlihat mengkritisi kapitalisme dan kaitannya dengan kepemilikan pribadi.
Aku jadi ingat ketika dosenku di kelas sedang memberi materi dan memberikan ceramah bahwa era kebangkitan sains modern mengubah masyarakat yang tadinya komunal menjadi individual. Kemunculan pabrik-pabrik industri membuat pekerjaan petani tidak lagi penting dan kehidupan berkelompok sudah tidak lagi menguntungkan. Para petani bermigrasi menjadi seorang buruh pabrik yang terlihat lebih menguntungkan. Mungkin, aku pikir kutipan Descartes yang terkenal yaitu "cogito ergo sum" atau "aku berpikir maka aku ada" juga menjadi pelopor bagi orang-orang untuk berpikir secara individualis. Seseorang yang tadinya selalu berpikir untuk kepentingan kelompoknya, menjadi egoistik. Sikap egois ini dalam dunia modern adalah suatu hal yang baik karena dengan memikirkan diri sendiri, seseorang tak perlu repot-repot untuk memikirkan keinginan orang lain. Dengan begitu, akan lebih mudah, efektif, dan efisien untuk mencapai tujuan. Sepertinya kapitalisme hadir melalui celah ini. Dosenku juga pernah berkata bahwa adanya peningkatan depresi ketika awal dimulainya era yang menggeser masyarakat menjadi individualistik atau kepemilikan pribadi dibandingkan kepemilikan bersama. Mungkin dari sini kapitalisme muncul melalui celah ini, ia menciptakan ilusi 'kebahagiaan' atau memberikan tujuan bagi orang-orang yang merasa dunianya telah runtuh dengan harapan-harapan palsu. Kebahagiaan itu disampaikan melalui konsep materialistis. Lalu bagaimana caranya untuk mendapatkan materi atau kebahagiaan itu sendiri? yaitu dengan bekerja keras. Namun, kita luput dari kesadaran bahwa ketika kapitalisme menyebarkan ilusinya, dia juga secara bersamaan sedang mengeksploitasi kita. Iming-imingnya bukanlah membuat kita 'bahagia' namun membuat kita terjebak dalam sebuah kemiskinan refleksi yang kemudian muncul lah keserakahan itu sendiri.
Ciri-ciri keserakahan tersebut menempel lekat pada karakter Pahom. Ia adalah seorang petani yang serakah, bertekad kuat, kehidupannya sudah berlimpah tanah namun tak pernah merasa berkecukupan. Kemudian, salah satu kutipan yang paling membuatku yakin bahwa Tolstoy tengah mengkritisi kapitalisme adalah
"satu jam untuk menderita, sepanjang umur untuk hidup"
Kutipan tersebut persis seperti nasihat-nasihat kapitalisme yang diperuntukkan bagi kelompok proletar untuk terus bekerja sampai mati dengan iming-iming 'kebahagiaan'.
Setelah proses penerjemahan karya ini pada akhirnya aku menemukan teman baru lagi, Tolstoy dengan ceritanya. Karya sastra selalu mempunyai makna-makna tersirat di dalamnya. Itulah bagian yang aku suka dari membaca mereka. Makna-makna itu akan terus bertambah, bervariasi, sesuai dengan penerjemahan sang pembaca-pembaca yang ada. Tulisan ini hanya menggambarkan caraku untuk berteman dengan karya sastra, sehingga aku lupa bahwa aku tengah kesepian.
ps:
Aku menyadari kemampuanku yang belum mahir dalam menulis. Jika ada kritik dan saran untuk tulisanku, aku akan sangat menerimanya. Terima kasih telah membaca :)
Komentar
Posting Komentar