Langsung ke konten utama

Tolstoy: Keserakahan Manusia Ketika Terjerat Kapitalisme

Bila membaca karya sastra ada suatu kebiasaan yang sering aku lakukan yaitu mencoba untuk masuk ke dalam cerita dengan menghubungkan duniaku dengan dunia yang terjadi di dalam karya sastra. Sehingga tak jarang aku pun merasa sangat terhubung sampai merasakan kehadiran karya sastra ini sebagai seorang teman. Rasanya seperti kegelisahanku tentang dunia yang sedang aku hadapi sekarang itu sedikit direpresentasikan oleh karya sastra, maka aku seperti punya teman yang mempunyai pandangan serupa tentang dunia. Itulah salah satu kenikmatan dalam membaca karya sastra terutama cerpen atau novel. Seperti ketika aku membaca karya sastra setebal 71 halaman yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk ini. Ditulis oleh Leo Tolstoy dengan judul Berapa Luas Tanah Yang Dibutuhkan Seorang Manusia

Awalnya aku pikir cerita ini akan membandingkan kehidupan kota dan desa, di mana kehidupan di desa itu lebih baik daripada kehidupan di perkotaan. Pada awal bab, Tolstoy seperti ingin memberikan pandangannya bahwa dunia perkotaan itu penuh dengan ketidakpuasan. Ketika hidup di perkotaan, kebutuhan dasar kita yang sebenarnya sederhana, menjadi sangat rumit karena kehadiran iklan-iklan yang terpasang di setiap sudut keramaian. Iklan tersebut seperti memberi ilusi bahwa kebutuhan kita itu banyak dan salah satunya bisa didapatkan di toko mereka. Godaan-godaan seperti pencapaian akan sesuatu, produktivitas, yang akan membawa gaya hidup berlimpah materi juga terpampang pada gambaran 'kota'. Dalam tulisannya Tolstoy mengatakan, 

"kehilangan dan pencapaian adalah saudara kembar"

Tolstoy seakan mengatakan bahwa pencapaian itu adalah sia-sia saja karena untuk mencapai sesuatu kita harus mengorbankan sesuatu. Maka, itulah yang terjadi pada kehidupan sang karakter dalam cerita yang bernama Pahom. Satu hal yang menarik adalah Pahom ini bukanlah orang yang hidup dalam modernisasi perkotaan, namun di pedesaan sebagai petani. Ia bekerja setiap hari bersama istrinya dengan pekerjaan yang memberatkan fisik. Meskipun istrinya sempat membahas bahwa ia hidup berkecukupan sebagai petani, namun Pahom tidak pernah merasa cukup dengan tanah yang ia punya. Kisah ini menceritakan keserakahan Pahom yang terus-terusan berjuang untuk memiliki kekayaan pribadi berupa tanah yang seluas-luasnya. Tolstoy terlihat mengkritisi kapitalisme dan kaitannya dengan kepemilikan pribadi.

Aku jadi ingat ketika dosenku di kelas sedang memberi materi dan memberikan ceramah bahwa era kebangkitan sains modern mengubah masyarakat yang tadinya komunal menjadi individual. Kemunculan pabrik-pabrik industri membuat pekerjaan petani tidak lagi penting dan kehidupan berkelompok sudah tidak lagi menguntungkan. Para petani bermigrasi menjadi seorang buruh pabrik yang terlihat lebih menguntungkan. Mungkin, aku pikir kutipan Descartes yang terkenal yaitu "cogito ergo sum" atau "aku berpikir maka aku ada" juga menjadi pelopor bagi orang-orang untuk berpikir secara individualis. Seseorang yang tadinya selalu berpikir untuk kepentingan kelompoknya, menjadi egoistik. Sikap egois ini dalam dunia modern adalah suatu hal yang baik karena dengan memikirkan diri sendiri, seseorang tak perlu repot-repot untuk memikirkan keinginan orang lain. Dengan begitu, akan lebih mudah, efektif, dan efisien untuk mencapai tujuan. Sepertinya kapitalisme hadir melalui celah ini. Dosenku juga pernah berkata bahwa adanya peningkatan depresi ketika awal dimulainya era yang menggeser masyarakat menjadi individualistik atau kepemilikan pribadi dibandingkan kepemilikan bersama. Mungkin dari sini kapitalisme muncul melalui celah ini, ia menciptakan ilusi 'kebahagiaan' atau memberikan tujuan bagi orang-orang yang merasa dunianya telah runtuh dengan harapan-harapan palsu. Kebahagiaan itu disampaikan melalui konsep materialistis. Lalu bagaimana caranya untuk mendapatkan materi atau kebahagiaan itu sendiri? yaitu dengan bekerja keras. Namun, kita luput dari kesadaran bahwa ketika kapitalisme menyebarkan ilusinya, dia juga secara bersamaan sedang mengeksploitasi kita. Iming-imingnya bukanlah membuat kita 'bahagia' namun membuat kita terjebak dalam sebuah kemiskinan refleksi yang kemudian muncul lah keserakahan itu sendiri. 

Ciri-ciri keserakahan tersebut menempel lekat pada karakter Pahom. Ia adalah seorang petani yang serakah, bertekad kuat, kehidupannya sudah berlimpah tanah namun tak pernah merasa berkecukupan. Kemudian, salah satu kutipan yang paling membuatku yakin bahwa Tolstoy tengah mengkritisi kapitalisme adalah 

"satu jam untuk menderita, sepanjang umur untuk hidup"

Kutipan tersebut persis seperti nasihat-nasihat kapitalisme yang diperuntukkan bagi kelompok proletar untuk terus bekerja sampai mati dengan iming-iming 'kebahagiaan'. 

Setelah proses penerjemahan karya ini pada akhirnya aku menemukan teman baru lagi, Tolstoy dengan ceritanya. Karya sastra selalu mempunyai makna-makna tersirat di dalamnya. Itulah bagian yang aku suka dari membaca mereka. Makna-makna itu akan terus bertambah, bervariasi, sesuai dengan penerjemahan sang pembaca-pembaca yang ada. Tulisan ini hanya menggambarkan caraku untuk berteman dengan karya sastra, sehingga aku lupa bahwa aku tengah kesepian. 


ps: 

Aku menyadari kemampuanku yang belum mahir dalam menulis. Jika ada kritik dan saran untuk tulisanku, aku akan sangat menerimanya. Terima kasih telah membaca :)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar