Akhir-akhir ini aku merasa kematian semakin dekat denganku. Mereka selalu ada di belakangku setiap saat, namun kadangkala aku pun takut dengan keberadaan mereka. Takut dengan keadaan yang akan membuatku letih ketika berhadapan lagi dengan kegelapan. Selama ini aku pikir aku sudah menemukan secerca cahaya untuk terus melangkah maju. Namun, saat itu pula aku tersandung dan kembali sadar akan realita yang sebenarnya membelengguku. Aku harus sadar bahwa aku tak hidup dalam angan-angan semata, aku harus menghadapi semua hal yang menimpaku, dengan kemungkinan terbesar sendirian. Akhir-akhir ini aku kurang mawas diri dengan keadaanku sendiri. Aku harus berpikir keras untuk mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Ternyata berpikir itu sulit. Berpikir melalui pertanyaan yang menerobos masuk tanpa bendungan ke dalam pikiran. Penih tak terhindarkan olehnya. Gundah dan cemas tak pernah berhenti menghantui. Inilah saat-saat aku butuh suatu injeksi serotonin yang memudahkanku untuk bergerak. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Semakin aku memberi injeksi serotonin, semakin aku enggan untuk bergerak. Karena serotonin malah membuatku mengantuk dan nyaman, tak ingin bangkit dan mulai lagi menyadari bahwa jika aku bangkit itu berarti aku lepas dari kenyamanan ini. Sepanjang waktu aku selalu kelelahan dengan segala pikiran yang menggangguku. Tak pernah usai. Jadi, di saat yang bersamaan aku juga menginginkan kematian itu datang dengan cepat agar semua hal yang ada di pikiranku usai sudah, berhenti, mati.
Sama sekali tak pernah terpikirkan bahwa ternyata alasan aku cemas dan khawatir adalah sebuah cara bagiku untuk bertahan hidup. Aku tak pernah menginginkan kematian. Terkadang aku hanya ingin menemukan sebuah solusi dari segala keresahanku, satu solusi yang dapat membuat jiwa dan raga ini bernapas dengan tenang. Aku ingin menghirup udara segar di pagi hari tanpa cemas akan masa depan. Keinginanku adalah menjadikan kedamaian suatu hal yang realistis, namun itu mustahil. Kedamaian yang diidam-idamkan semua orang tak akan menjelma sebagai sesuatu yang dapat diraih, seperti air yang berada di tengah padang pasir, fatamorgana. Seseorang terus membayangkannya, berhalusinasi, hingga membuat mereka berenergi, penuh harapan akan menggapai air itu di saat mereka sangat kehausan. Pada akhirnya mereka tak pernah mendapatkan air sampai mati. Tapi sejenak, fatamorgana itu memberi mereka harapan, tak tertandingi hingga bisa melawan rasa haus. Namun, suatu hal yang pasti bagi kita semua adalah kematian. Sejujurnya tak akan ada yang bisa kita lakukan terhadap kematian. Bagaimana kita tahu apa yang sedang kita pikirkan adalah fatamorgana? Namun apa salahnya membuat hidup penuh dengan harapan agar dapat bertahan hidup lebih lama? Ataukah lebih baik memilih untuk menyimpan energi kita dan menikmati begitu indahnya padang pasir yang panas itu? meskipun padang pasir itu yang membunuh kita dan sekaligus diri kita yang membuat kita terbunuh, tapi tak ada salahnya melihat sekitar dengan mata kepala kita, mengenang keindahan padang pasir tersebut sebelum raga kita tak mampu lagi bertahan dan memilih ditelan kematian.
Komentar
Posting Komentar