Langsung ke konten utama

Serampangan (1)

 Akhir-akhir ini aku merasa kematian semakin dekat denganku. Mereka selalu ada di belakangku setiap saat, namun kadangkala aku pun takut dengan keberadaan mereka. Takut dengan keadaan yang akan membuatku letih ketika berhadapan lagi dengan kegelapan. Selama ini aku pikir aku sudah menemukan secerca cahaya untuk terus melangkah maju. Namun, saat itu pula aku tersandung dan kembali sadar akan realita yang sebenarnya membelengguku. Aku harus sadar bahwa aku tak hidup dalam angan-angan semata, aku harus menghadapi semua hal yang menimpaku, dengan kemungkinan terbesar sendirian. Akhir-akhir ini aku kurang mawas diri dengan keadaanku sendiri. Aku harus berpikir keras untuk mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Ternyata berpikir itu sulit. Berpikir melalui pertanyaan yang menerobos masuk tanpa bendungan ke dalam pikiran. Penih tak terhindarkan olehnya. Gundah dan cemas tak pernah berhenti menghantui. Inilah saat-saat aku butuh suatu injeksi serotonin yang memudahkanku untuk bergerak. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Semakin aku memberi injeksi serotonin, semakin aku enggan untuk bergerak. Karena serotonin malah membuatku mengantuk dan nyaman, tak ingin bangkit dan mulai lagi menyadari bahwa jika aku bangkit itu berarti aku lepas dari kenyamanan ini. Sepanjang waktu aku selalu kelelahan dengan segala pikiran yang menggangguku. Tak pernah usai. Jadi, di saat yang bersamaan aku juga menginginkan kematian itu datang dengan cepat agar semua hal yang ada di pikiranku usai sudah, berhenti, mati. 

Sama sekali tak pernah terpikirkan bahwa ternyata alasan aku cemas dan khawatir adalah sebuah cara bagiku untuk bertahan hidup. Aku tak pernah menginginkan kematian. Terkadang aku hanya ingin menemukan sebuah solusi dari segala keresahanku, satu solusi yang dapat membuat jiwa dan raga ini bernapas dengan tenang. Aku ingin menghirup udara segar di pagi hari tanpa cemas akan masa depan. Keinginanku adalah menjadikan kedamaian suatu hal yang realistis, namun itu mustahil. Kedamaian yang diidam-idamkan semua orang tak akan menjelma sebagai sesuatu yang dapat diraih, seperti air yang berada di tengah padang pasir, fatamorgana. Seseorang terus membayangkannya, berhalusinasi, hingga membuat mereka berenergi, penuh harapan akan menggapai air itu di saat mereka sangat kehausan. Pada akhirnya mereka tak pernah mendapatkan air sampai mati. Tapi sejenak, fatamorgana itu memberi mereka harapan, tak tertandingi hingga bisa melawan rasa haus. Namun, suatu hal yang pasti bagi kita semua adalah kematian. Sejujurnya tak akan ada yang bisa kita lakukan terhadap kematian. Bagaimana kita tahu apa yang sedang kita pikirkan adalah fatamorgana? Namun apa salahnya membuat hidup penuh dengan harapan agar dapat bertahan hidup lebih lama? Ataukah lebih baik memilih untuk menyimpan energi kita dan menikmati begitu indahnya padang pasir yang panas itu? meskipun padang pasir itu yang membunuh kita dan sekaligus diri kita yang membuat kita terbunuh, tapi tak ada salahnya melihat sekitar dengan mata kepala kita, mengenang keindahan padang pasir tersebut sebelum raga kita tak mampu lagi bertahan dan memilih ditelan kematian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar