Langsung ke konten utama

Naomi Wolf: Vagina Bukan Hanya Sekedar Lubang

Naomi R. Wolf adalah seorang penulis feminis liberal progresif Amerika, jurnalis, sekaligus mantan penasihat politik Al Gore dan Bill Clinton yang lahir pada 12 November 1962. Wolf menjadi terkenal setelah menulis The Beauty Myth (1991). Dengan buku ini, ia menjadi juru bicara utama dari apa yang kemudian digambarkan sebagai gerakan feminis gelombang ketiga. Beberapa feminis terkemuka seperti Gloria Steinem dan Betty Friedan memuji buku ini; sementara yang lain, seperti Camile Paglia, Christina Hoff Sommers mengkritiknya. Sejak saat itu ia telah menulis beberapa buku lain, seperti The End of America dan termasuk Vagina: A New Biography.

Buku Naomi Wolf yang berjudul Vagina: Kuasa dan Kesadaran adalah buku pertamanya yang baru saja aku baca. Aku pikir kesan awal yang akan kudapatkan adalah merasa agak jorok karena membicarakan soal vagina atau merasa tidak nyaman karena membicarakan soal hubungan seksual yang bebas tak bermoral. Ternyata anggapanku salah, setelah membaca satu bab tentang saraf panggul perempuan aku terkejut ternyata tulisannya sangat ilmiah dan tidak mesum

Awalnya Wolf menceritakan tentang kompresi saraf yang dialaminya sebagai akibat dari kecelakaan yang ia alami 20 tahun silam. Saraf tersebut menekan salah satu cabang saraf panggul dimana itu adalah salah satu cabang yang berakhir di saluran vagina. Hal tersebut membuat Wolf tidak bisa merasakan orgasme seperti biasanya. Gairah seksualnya pun berkurang. Ketakutan Wolf bahwa dia tidak bisa lagi merasakan perasaan emosional luar biasa, perasaan senang, kreatif, dan rasa percaya diri yang sering ia rasakan setelah melakukan hubungan seksual yang pada akhirnya membawanya kearah lebih dalam tentang seksualitas perempuan. 

Istilah medis dari vagina adalah introitus yang artinya lubang vagina. Wolf berpikir istilah tersebut sangat dangkal untuk mendeskripsikan vagina keseluruhannya. Bagian-bagian vagina yang kita ketahui dibatasi hanya dari permukaan yang paling dangkal dari tubuh kita. Wolf menemukan bahwa ternyata susunan vagina yang lebih rumit memengaruhi cara seksualitas perempuan bekerja. Singkatnya perempuan dapat merasakan orgasme "tinggi" dengan cara yang lebih bervariatif dan berbeda dengan sesama perempuan lain. 

Hubungan seksual yang konvensional menekankan pada bagian kestabilan, kecepatan, berorientasi pada tujuan, linier, dan hanya berfokus pada stimulasi pada satu atau dua area tubuh perempuan. Hal tersebut tidak dilakukan secara mendalam. Wolf berkata bahwa pandangan masyarakat patriarki cenderung menganggap bahwa seksualitas perempuan dan laki-laki itu sama saja. Hal tersebut didasarkan atas pandangan yang berorientasi maskulin. Hal ini yang menyebabkan vagina kurang dihargai dan peran penuhnya kurang dipahami. 

Bagi laki-laki, kesenangan seksual bepusat di penis. Seksualitas laki-laki yang lebih sederhana cenderung membuat orgasme lebih mudah dibanding perempuan. Seks hanya sebatas kesenangan fisik saja. Namun, perempuan perlu merasakan keterikatan secara emosional terlebih dahulu sebelum merasakan orgasme "tinggi" yang luar biasa. Perempuan bisa saja berganti-ganti pasangan seperti laki-laki dengan kebebasan otonomi tubuhnya, namun akan jarang menemukan orgasme yang luar biasa.

Wolf juga mengatakan dampak setelah orgasme "tinggi" yang dialami perempuan dan laki-laki itu sangat berbeda. Dijelaskan dalam bab Dopamin, Opioid, dan Oksitoksin, bahwa setelah melakukan kegiatan seksual hebat dengan pasangan yang penuh keterikatan emosional, kadar zat dopamin dalam otaknya akan meningkat. Perempuan akan menjadi lebih aktif dan lebih ingin banyak bicara sedangkan laki-laki sebaliknya. Laki-laki akan melepaskan zat serotonin dimana gairah seks akan menurun dan lebih sering tertidur setelahnya. 

Wolf dengan radikal menjelaskan tentang rumitnya seksualitas perempuan yang membutuhkan koordinasi laki-laki untuk lebih memperlakukan perempuan dengan semestinya. Perempuan perlu diperlakukan secara sopan, nyaman, membuatnya merasa aman, dan dihargai untuk memberi bantuan stimulasi agar mendapatkan orgasme yang luar biasa. 

Dalam bab terakhirnya ia mengungkapkan rasa curiga terhadap media tentang alasan informasi  seksualitas perempuan ini tidak disampaikan dengan baik kepada masyarakat. Wolf curiga bahwa jika informasi tentang pengetahuan seksualitas perempuan ini disebarkan akan membuat para perempuan menjadi kegirangan dan susah diatur. Perempuan akan menuntut perlakuan lebih kepada laki-laki  agar mendapatkan orgasme yang luar biasa, dan tugas laki-laki akan bertambah. Bukankah akan banyak keluhan yang dikeluarkan laki-laki jika perempuan terus menuntut mereka? 

Namun, ia menambahkan bahwa tidak ada organ seksual yang lebih tinggi, semuanya sama saja. Hanya saja informasi tentang seksualitas perempuan ini yang seharusnya dapat diakses lebih mudah lagi agar laki-laki dan perempuan dapat bisa bekerjasama untuk mencapai tingkat kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan seksualnya.

Setelah selesai membaca buku ini anggapanku tentang vagina sepenuhnya berubah. Hal ini membuatku merasakan betapa ajaibnya dunia seksualitas perempuan dan semua orang harus mengetahuinya. Dengan membaca buku ini, telah membuka pikiranku terhadap kemungkinan-kemungkinan seksualitas perempuan yang sebelumnya tidak aku ketahui. Bagaimana seksualitas perempuan berbeda dengan laki-laki dan tidak sepatutnya disamakan. Menasihatiku untuk sedikit demi sedikit meluruhkan sudut pandang maskulin yang secara tak sadar sering merugikan perempuan (dengan sikap misoginis) dan merangkul sifat feminin perempuan sebagai hal yang saling menguatkan satu sama lain untuk semua gender.


Penutup: Thanks to Hatindriya Hangganararas yang telah meminjamkan buku ini.

   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar