Langsung ke konten utama

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal.

Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?”

Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita.

Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era.

Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir, 

Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar-benar menginginkan kehidupan. Mungkin kita sebenarnya telah mati sejak lama, namun kita tidak menyadarinya.

Kematian yang aku bilang di sini bukan kematian secara biologis. Namun, kematian secara eksistensial. Mungkin kita tak pernah punya makna dalam kehidupan ini, mungkin kita hanya menumpang untuk bernafas dan merasakan salah satu bagian terkecil dari alam semesta untuk sekejap saja, dibuat senang olehnya sementara, membuat kita ingin terus merasakan kenikmatan yang diberikan oleh salah satu bagian terkecil dari alam semesta ini. Makna yang selalu kita pikirkan tentang keberadaan kita mungkin sebenarnya hanya dibuat oleh alam semesta, bukan benar-benar ada dalam diri kita sendiri. Mungkin kita tidak ada, dan yang ada hanya alam semesta ini.

Namun, aku menyadari bualan ini hanyalah salah satu keresahanku sebagai manusia untuk terus menerjemahkan apa itu hidup, agar lebih masuk akal, karena jika dibiarkan terlalu abstrak, aku tak punya harapan untuk hidup lebih lanjut.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan