Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal.
Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi
sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang
selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian
kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah
kita?”
Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail
mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita.
Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa
itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga
banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan
tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak
pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era.
Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,
Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar-benar menginginkan kehidupan. Mungkin kita sebenarnya telah mati sejak lama, namun kita tidak menyadarinya.
Kematian yang aku bilang di sini bukan kematian
secara biologis. Namun, kematian secara eksistensial. Mungkin kita tak pernah
punya makna dalam kehidupan ini, mungkin kita hanya menumpang untuk
bernafas dan merasakan salah satu bagian terkecil dari alam semesta untuk
sekejap saja, dibuat senang olehnya sementara, membuat kita ingin terus
merasakan kenikmatan yang diberikan oleh salah satu bagian terkecil dari alam
semesta ini. Makna yang selalu kita pikirkan tentang keberadaan kita mungkin
sebenarnya hanya dibuat oleh alam semesta, bukan benar-benar ada dalam diri
kita sendiri. Mungkin kita tidak ada, dan yang ada hanya alam semesta ini.
Namun, aku menyadari bualan ini hanyalah salah
satu keresahanku sebagai manusia untuk terus menerjemahkan apa itu hidup, agar
lebih masuk akal, karena jika dibiarkan terlalu abstrak, aku tak punya harapan
untuk hidup lebih lanjut.
Komentar
Posting Komentar