Ini adalah cerita
tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan
tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah
melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang
harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian
dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis
satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik
dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!”
Suatu hari ketika
sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha
untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang
selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis
hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama
kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?”
Awalnya ia mengira
inilah tujuan hidupnya. Sudah dipastikan. Inilah tujuan hidup yang
sesungguhnya. Dengan rasa percaya diri akibat euforia itu ia merasa ringan,
hebat, tak terkalahkan. Semacam orang telah melakukan hubungan seksual dengan sangat bergairah. Namun, hasrat itu menurun ditelan waktu
dan kenyataan yang berkebalikan dengan perasaan euforia.
Akhirnya ia
menjalani hari-hari baru. Disebut baru karena ia sudah mengalami perubahan. Penceklisan
itu berpengaruh besar kepada kesehariannya. Pola tidur, pola makan, pola
berteman, semuanya berbeda. Ia menjalani hari-hari baru, disambut dengan
keceriaan selama kurang lebih dua minggu. Menjelang satu bulan ia mulai bosan. Menjelang
tiga bulan ia mulai mengeluh. Menjelang enam bulan ia mulai berpikir untuk
menyerah dan berharap tak pernah menceklis apapun dalam hidupnya.
Ah tidak,
pikirnya. Aku tidak boleh menjalani hidup yang penuh dengan kebingungan. Ia berpikir
sangat keras, hampir menangis karena dalam pikirannya tergambarkan masa depan
dimana ceklis-ceklis itu tak pernah terisi lalu ia terjebak dalam suatu ruangan. Tak bisa melakukan apapun selain tidur, makan, dan mengeluarkan tai.
Ia tak bisa tidur
di malam hari, takut hari esok menjadi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Bagaimana
jika aku tidak bisa menceklis ini besok? Tanyanya pada dirinya sendiri. Bagaimana
jika semua yang kulakukan ini tak akan membawaku kepada kebahagiaan absolut?
Aneh, sangat aneh.
Aku telah melakukan segala hal dengan kebenaran. Bayangkan bagaimana sulitnya
orang lain untuk mencari kebenaran, sedangkan aku telah menemukannya. Aku telah
menjalaninya, pikirnya. Bagaimana bisa ia belum juga bahagia? Bagaimana bisa
hidupnya malah kembali kosong seperti semula?
Suatu hari muncul pertanyaan
dalam benaknya, “Apakah aku harus menjalani sisa kehidupanku dengan terus
berjuang dan berjuang, berlari dan berlari, menceklis dan menceklis, hingga
mencapai puncak kekosongan?” Sulit untuk dijawab olehnya sendiri. Sempat ia
berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja karena kesinisannya terhadap dunia yang
menjunjung tinggi materi. Mungkin jika ia melepas raga, ia akan merasakan
kedamaian. Namun, pikiran tersebut dihentikan oleh suatu kepercayaan yang ia
miliki tentang kehidupan setelah kematian.
Ia tak mau
terjebak dalam kekosongan. Akhirnya ia menemukan cara untuk bangkit yaitu
dengan menghibur dirinya sendiri. Menghibur diri dengan kata-kata dalam
benaknya. Katanya, mungkin inilah cara hidup bekerja. Kita dibiarkan merasa
kosong agar terus mengejar kepadatan, keutuhan.
Dengan cara
pandang ini ia tak bisa lagi mengeluh, pun tak bisa lagi bersukacita. Ia tidak
tenggelam, tidak pula bernafas lega.
Komentar
Posting Komentar