Langsung ke konten utama

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!”

Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?”

Awalnya ia mengira inilah tujuan hidupnya. Sudah dipastikan. Inilah tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan rasa percaya diri akibat euforia itu ia merasa ringan, hebat, tak terkalahkan. Semacam orang telah melakukan hubungan seksual dengan sangat bergairah. Namun, hasrat itu menurun ditelan waktu dan kenyataan yang berkebalikan dengan perasaan euforia. 

Akhirnya ia menjalani hari-hari baru. Disebut baru karena ia sudah mengalami perubahan. Penceklisan itu berpengaruh besar kepada kesehariannya. Pola tidur, pola makan, pola berteman, semuanya berbeda. Ia menjalani hari-hari baru, disambut dengan keceriaan selama kurang lebih dua minggu. Menjelang satu bulan ia mulai bosan. Menjelang tiga bulan ia mulai mengeluh. Menjelang enam bulan ia mulai berpikir untuk menyerah dan berharap tak pernah menceklis apapun dalam hidupnya.

Ah tidak, pikirnya. Aku tidak boleh menjalani hidup yang penuh dengan kebingungan. Ia berpikir sangat keras, hampir menangis karena dalam pikirannya tergambarkan masa depan dimana ceklis-ceklis itu tak pernah terisi lalu ia terjebak dalam suatu ruangan. Tak bisa melakukan apapun selain tidur, makan, dan mengeluarkan tai.

Ia tak bisa tidur di malam hari, takut hari esok menjadi sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Bagaimana jika aku tidak bisa menceklis ini besok? Tanyanya pada dirinya sendiri. Bagaimana jika semua yang kulakukan ini tak akan membawaku kepada kebahagiaan absolut?

Aneh, sangat aneh. Aku telah melakukan segala hal dengan kebenaran. Bayangkan bagaimana sulitnya orang lain untuk mencari kebenaran, sedangkan aku telah menemukannya. Aku telah menjalaninya, pikirnya. Bagaimana bisa ia belum juga bahagia? Bagaimana bisa hidupnya malah kembali kosong seperti semula?

Suatu hari muncul pertanyaan dalam benaknya, “Apakah aku harus menjalani sisa kehidupanku dengan terus berjuang dan berjuang, berlari dan berlari, menceklis dan menceklis, hingga mencapai puncak kekosongan?” Sulit untuk dijawab olehnya sendiri. Sempat ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja karena kesinisannya terhadap dunia yang menjunjung tinggi materi. Mungkin jika ia melepas raga, ia akan merasakan kedamaian. Namun, pikiran tersebut dihentikan oleh suatu kepercayaan yang ia miliki tentang kehidupan setelah kematian.

Ia tak mau terjebak dalam kekosongan. Akhirnya ia menemukan cara untuk bangkit yaitu dengan menghibur dirinya sendiri. Menghibur diri dengan kata-kata dalam benaknya. Katanya, mungkin inilah cara hidup bekerja. Kita dibiarkan merasa kosong agar terus mengejar kepadatan, keutuhan.

Dengan cara pandang ini ia tak bisa lagi mengeluh, pun tak bisa lagi bersukacita. Ia tidak tenggelam, tidak pula bernafas lega. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar