Langsung ke konten utama

Kalang Kabut

Seminggu terakhir ini energiku terkuras habis. Perasaanku kalang kabut, tidak karuan. Senggol dikit, bacok. Sensitif dengan hal-hal kecil yang sebelumnya aku bisa atasi dengan tarik napas, buang napas. Aku sadar, naik turunnya kehidupan tidak bisa aku atur sendiri. Di sini—saat keadaan sedang kalut, aku hanya perlu mencari alasan untuk tetap bertahan seburuk apapun hidup menerjang kewarasan.

Semalam, ketika kewarasanku sedang diuji, aku tertidur lemah karena kewalahan menjalani hari yang berat. Pagi hari ini ketika aku terbangun melalui suara notifikasi pesan dari smartphone, temanku memberikan komentar apresiasi pada tulisanku. Di luar tulisanku itu jelek atau tidak. Koheren atau tidak. Apapun itu kejelekannya yang sering aku pikirkan, aku sangat senang ketika membaca pesan dari temanku, Nadhil. Terima kasih banyak, Nadhil. Tidak hanya itu, saat aku menerima pujian dari Nadhil, aku kemudian memaklumi kejelekan tulisanku dan mulai mengapresiasinya. Yang aku pikirkan adalah, “saat ini tulisanku dapat memberikan pengalaman lain kepada pembaca, itu sudah cukup memberiku alasan untuk bertahan dari kegilaan.”

Aku putuskan untuk mempromosikan tulisanku, kemudian pada akhirnya beberapa teman mengaku telah membaca tulisanku, hanya saja mereka tak pernah komentar apa-apa. Saat itu juga aku tersenyum dan memantapkan diri untuk bertahan hidup hari ini. Tak pernah terbayangkan bahwa tulisanku dibaca dan berpengaruh bagi orang lain. Mungkin selama ini aku terlalu keras menilai diriku sendiri. Apresiasi yang aku dapatkan dari teman-teman terdekat, selalu memberikan energi positif yang mengalir hebat sampai menghancurkan benteng-benteng pikiran negatifku. Dari sini aku kemudian tersadarkan kembali bahwa apapun yang kita ucapkan selalu berpengaruh pada berjalannya kehidupan orang lain. Kata-kata dapat membuat seseorang mengurungkan diri untuk bertahan pula. Meremehkan apa yang kita ucapkan kepada orang lain (juga diri sendiri) merupakan tindakan yang perlu direfleksikan ulang.

Saat ini aku ingin mengapresiasi diriku sendiri dengan mengatakan:

terima kasih telah bertahan hari ini

Alasan aku masih hadir di dunia ini adalah karena diriku sendiri yang telah memilih untuk bertahan. Banyak cara menuju kematian, begitu pula untuk bertahan. Aku—hingga hari ini, telah memilih untuk bertahan setiap harinya dengan alasan sekecil apapun itu.

Selanjutnya, semoga aku, kamu, kita semua akan terus memilih untuk bertahan. Seremeh apapun itu alasannya. Semoga, saat sesuatu menerjang kewarasan suatu hari nanti, kita akan terus memilih untuk mencari pegangan, salah satunya adalah dengan cara saling berpegangan satu sama lain.  

pesan singkat: terima kasih juga kepada teman-teman terdekat yang tak pernah bosan mendengarkan ceritaku, yang tiba-tiba datang menanyakan kabar karena kekhawatirannya, yang selalu datang untuk mengapresiasi sekecil apapun keberhasilanku, yang selalu berbagi cerita lucu untuk saling menghibur, semoga keberkahan dan kebajikan selalu mengikuti kita selama hidup. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar