Suatu waktu saat masih sekolah menengah, transisi dari dunia anak-anak menuju remaja, aku menjadi seorang yang takut berkenalan dengan orang baru. Duniaku berputar di ruang yang terbatas seperti rumah atau kamar, dengan bacaan komik atau novel teenlit. Aku pun sempat mengeksplorasi movie atau film. Sejak SMA kecintaanku padanya mulai memuncak. Sampai pada masa-masa beranjak dewasa aku mulai melupakan membaca. Hingga aku merasa hidupku sangat membosankan tanpa seni atau fiksi. Aku mulai membaca fiksi lagi dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Bacaan-bacaan yang ‘berat’ belum tersentuh olehku, dan sampai sekarang pun masih meraba-meraba. Hanya saja berkat sekolah lanjut ini aku bisa berpikir lebih dalam apa makna membaca bagiku sendiri.
Membaca
telah menjadi aktivitas yang menurutku sama halnya dengan kegiatan bersosial.
Mendengarkan orang lain berbicara setara dengan membaca kata-kata. Memahami
makna dari gerak-gerik orang lain sama halnya dengan memahami isi bacaan.
Namun, perbedaannya adalah terletak pada kompleksitas dunia masing-masing.
Membaca fiksi sama halnya berhubungan dengan dunia pengarang yang telah
disajikan sampai akhir dengan pasti. Pengarang telah membuat suatu dunia baru
dalam suatu fiksi, pembaca hadir untuk menyelam ke dalam dunia tersebut. Dunia tersebut
telah pasti mempunyai akhir cerita. Berbeda jika berhubungan langsung dengan manusia
di kehidupan nyata. Mendengarkan dan memahami kata-kata mereka terkesan sangat absurd.
Kegiatan bersosial menjadi hal yang rumit dilakukan karena terkadang orang
tidak paham apa yang tengah dibicarakannya, apa yang ingin ia sampaikan, atau malah menyampaikan
sesuatu dengan tindakan
kontradiktif. Hal-hal dalam bersosial tidak pernah pasti, tidak seperti membaca
dunia fiksi. Mungkin karena itulah aku lebih memilih duduk di kamar membaca
bacaan fiksi daripada berinteraksi dengan orang lain di dunia luar.
Beranjak dewasa hal ini tentu perlu ditelaah ulang lagi. Membaca bacaan ‘berat’—contohnya mungkin sejarah dan filsafat harus aku lakukan. Selain karena tuntutan dari dunia akademis, aku juga ternyata menemukan hal lain dari membaca. Saat aku membaca tulisan-tulisan bertemakan ide pemikiran, kata-kata asing banyak sekali berserakan di atas kertas putih atau layar digital. Hal itu membuatku harus membuka-menutup kamus sambil menerka-nerka definisi yang telah aku kaitkan dengan pengalaman empiris. Tidak hanya membuka-menutup kamus, jika menemukan satu kata atau kalimat yang sulit dipahami, aku menelusurinya sampai dengan sejarah dimulainya kata tersebut.
Membaca bukanlah kegiatan yang pasif membaca kata-kata, namun kegiatan berpikir kritis untuk memahami suatu bacaan.
Membaca satu artikel ilmiah yang temanya asing. Sama
sekali belum mengetahui istilah-istilah yang tertera dalam judul, membuatku
harus berpikir lebih dalam bagaimana caranya agar aku mengerti istilah-istilah
tersebut. Aku membuka buku-buku penunjang lain agar aku bisa memahami teks yang
sama sekali asing. Terkadang aku berpikir, ternyata kegiatan membaca itu sangat
sulit, tidak bisa disepelekan. Saat ini membaca buatku adalah proses berpikir,
memahami, dan menghargai sebuah tulisan seperti halnya aku menghargai orang
lain sesama manusia. Membaca itu sendiri terkadang membuatku lupa kalau aku
tengah berada di dalam kamar—ruang kecil yang terbatas.
Komentar
Posting Komentar