Langsung ke konten utama

Share Thoughts: Keinginan Banyak Orang adalah Untuk Menjadi Mapan



Aku pernah diberikan pertanyaan in terus-terusan dari kecil sampai besar. “Kamu mau jadi apa nanti?”

Saat aku kelas 3 SD, aku berfikir menggambar itu suatu hal yang menyenangkan walaupun aku tidak terlihat berbakat aku dengan lantang bilang, “pelukis”. Saat itu juga mamaku dan papaku tertawa mendengar jawabanku. Aku berfikir, “apakah menjadi pelukis adalah suatu hal yang lucu?” akhirnya aku mengganti jawaban setelah aku mendapatkan pertanyaan itu lagi. Aku menggantinya dengan jawaban “Guru” “Dokter” “Dosen” karena itu adalah jawaban lumrah yang tidak akan ditertawakan oleh orang lain.

Aku masih ingat waktu itu ada kebiasaan popular yang selalu dilakukan anak SD, yaitu memberi kertas berwarna dan bergambar lucu-lucu untuk diisi biodata kepada setiap anak di kelasnya. Pada biodata itu ada macam-macam kolom seperti nama, hobi, tempat tanggal lahir, minuman favorit, makanan favorit, pacar, dan cita-cita. Aku menulis kolom cita-cita dalam biodata tersebut dengan jawaban “menjadi orang sukses”. Setelah menulis biodata kertas tersebut dikembalikan agar temannya bisa menyimpang biodataku sebagai tanda bahwa kita berteman—anak 90an pasti ngerti banget tren macam ini ya, kan?

Entah benar atau salah yang aku ingat waktu itu adalah kebanyakan anak SD yang seumuran denganku mengisi kolom cita-cita dengan, “Ingin menjadi orang sukses” atau “Guru” atau “Dokter” atau “polisi” atau “ingin membahagiakan orang tua”. Itu berarti kita semua berfikir bahwa tujuan kita harus menjadi orang sukses, mempunyai profesi yang prestise dan mapan, mengapa ya bisa seperti itu?—ah bukan itu yang ingin aku bahas disini.  Pokoknya lambat laun setelah aku berumur 21 tahun aku menemukan penulis buku motivasi tanpa motivasi yaitu Mark Manson dengan judul bukunya The Subtle Art of Not Giving A Fuck. Aku akan mengutip salah satu tulisannya yang berbunyi seperti ini.

Everybody enjoy what feels good. Everyone wants to live a carefree, happy, easy life, to fall in love and have amazing sex and relationship, to look perfect and make money and be popular and well-respected and admired, everyboday wants that, it’s easy to want that.

A more interesting question,  a question that most people never consider is, “what pain do you want in your life? What are you willing to struggle for?”

Kira-kira Bahasa Indonesianya: semua orang menyukai apapun yang dianggapnya nyaman dan bagus. Semua orang ingin memiliki kebebasan, kebahagiaan, hidup yang mudah, jatuh cinta, punya hubungan dan kehidupan seks yang luar biasa, terlihat sempurna dan memiliki uang dan terkenal dan dihormati dan dipuja-puji, itu adalah hal yang sangat mudah untuk diinginkan semua orang.

Namun ada sebuah pertanyaan menarik yang kebanyakan orang tidak pernah terpikirkan yaitu, “bentuk derita apa yang kamu inginkan dalam hidupmu? Perjuangan apa yang ingin kamu jalani?”

Stigma tentang profesi yang hanya dilihat dari materi adalah bergengsi, bermartabat, dihormati, dan dipuja-puji. Makanya, mengapa aku pernah didorong orang tua agar masuk jurusan kedokteran adalah dokter merupakan profesi yang menjanjikan dari segi finansial, jika uang yang didapatkan banyak, maka otomatis hidup dokter akan bahagia. Plus ayahku menginginkan cipratan prestise dari anaknya, sehingga dia bisa membangga-banggakan anaknya di depan saudara-saudara dan teman-temannya. aku tangkap asumsi ini dari omongan beliau kepadaku katanya, “Bapa pengen deh di keluarga ini ada satu orang saja yang jadi dokter, soalnya dari keluarga Bapa belum ada.” Alasannya bukan karena dokter itu pekerjaan yang mulia dan menyelamatkan banyak orang tetapi karena dari keluarganya belum ada yang jadi dokter. Namun, pada akhirnya dia tidak menekankan keinginannya padaku. Dia cuman iseng saja, mungkin berharap aku akan terpelatuk dan menginginkan hal yang sama—prestise dan uang, namun aku tidak seperti itu.

Aku dibesarkan dalam keluarga yang tidak mengerti apa itu passion dan bagaimana caranya agar passion itu bisa membuat seseorang berkembang. Kita hidup dalam lingkungan sosial yang sangat nyaman berada dalam zona aman. Kebanyakan dari keluarga kita tinggal di tempat yang sama, seperti nenek dari kedua orang tua, mamang, bibi, sepupu-sepupu, hampir semuanya tinggal di tempat yang sama. Jika merantau mungkin hanya sekitar daerah yang masih mempunyai kultur yang sama, kita takut untuk keluar dari zona nyaman kita, sehingga untuk mendobrak sebuah inovasi dari sebuah passion itu tidak ada dukungan sama sekali dan hal itu akan sulit. Memang bukan salah mereka hidup dan tinggal di lingkungan seperti ini, aku bisa mengerti, namun aku pikir jika cara pandang keluargaku tidak bisa diubah, maka aku akan mengubah cara pandangku sendiri. Aku tidak melihat dokter atau PNS atau polisi adalah pekerjaan yang akan membuat hidupku bahagia, ini hal yang sangat terbalik dengan cara pandang orang tuaku. Aku tidak memandang hidup hanya untuk bergelimang harta, namun sulit aku sangkal juga bahwa privilese yang selama ini aku genggam adalah dapat dikatakan muncul dari materi. Ah, sisi realistiku sulit aku singkirkan ketika berbicara tentang motivasi dan passion.

Ketika aku membaca buku Mark Manson, aku mengerti bahwa semua orang ingin kenyamanan, dan untuk memiliki kenyamanan tersebut, yang pertama dilakukan adalah memiliki uang, memiliki uang banyak akan dengan mudah berkuasa dan mendapatkan apapun yang mereka inginkan termasuk kenyamanan. Itulah definisi bahagia untuk kebanyakan orang, namun yang aku tangkap dari tulisan Mark Manson ini adalah jika kamu ingin bahagia kamu harus rela menjalani proses dengan penuh suka dan duka cita, menjalani penderitaan hidup dan perjuangan hidup, lalu kita akan merasakan bagaimana kita senang dengan penderitaan kita dan itu membuat kita bahagia. Sering aku dengar motivasi seperi “berproses lebih baik daripada hasil.” Yang harus kita lakukan adalah fokus pada proses, bukan hasil. Aku mengartikan kebanyakan orang hanya fokus pada uang dan kekuasaan agar dapat hidup dengan nyaman dan bahagia, menurut Mark yang bicara tentang proses itu aku mengartikannya sebagai “belajar”, aku tidak boleh membiarkan diriku sendiri larut dan tenggelam dalam ketidak-ingintahuan, makanya aku ingin menambah ilmuku, membuka cara pandangku terhadap dunia, terhubung dengan orang-orang disekitar agar aku bisa hidup bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar