Langsung ke konten utama

Kekosongan (2)

         Apa kalian tau apa yang sedang dialami manusia itu sekarang? Selain sulit mengambil nafas karena hidupnya mengambang? Ia memutuskan untuk membuang hal-hal yang ingin ia lakukan. Ia putuskan untuk tak melakukan penceklisan apapun lagi. Ia menjadi seorang religius. Penting baginya untuk memercayai sesuatu. Agar datang kebaikan akhirnya. Meskipun selama ini hanya kekosongan yang selalu menghampirinya. Setidaknya dengan memercayai Tuhan, ia tak harus lagi berusaha keras untuk bahagia. Karena apapun yang terjadi, bahagia atau tidak, itulah takdir yang diberikan Tuhan. Kita hanya perlu mensyukurinya.

Ketika dihadapkan dengan cobaan, seorang religius akan berpikir tentang bagaimana Tuhan sedang menguji keimanannya. Tak peduli betapa pun sakit, penderitaan, bahkan sampai pertumpahan darah yang ia alami. Itu semua adalah kehendak Tuhan. Ia tak boleh mengeluh. Seorang teman bercerita kepada sang manusia tentang bagaimana hidupnya selalu bernasib buruk. Sang manusia memberi nasihat kepada temannya, katanya itu terjadi karena ia tak pernah bersyukur. Jika Tuhan mengiriminya nasib buruk, berarti itu yang perlu ia jalani, itu yang sudah ditulis-Nya. “Atau coba kamu ingat-ingat apakah kamu pernah melakukan dosa yang sangat besar hingga Tuhan semarah ini padamu?“ Temannya terdiam seribu bahasa. Benaknya membenarkan. Mungkin ia telah melakukan dosa yang sangat besar saat muda. Mungkin jika diakumulasikan sampai sekarang, nasib buruk itu cerminan dosa-dosanya. Manusia itu berkata lagi, “Tapi jangan khawatir, jika kamu lulus cobaan ini, dosamu akan otomatis terampuni.” Temannya bernafas lega. Ternyata semudah itu, hanya perlu bersyukur.

Sang manusia hidup dengan penuh kebersyukuran. “Aku bersyukur karena hidupku lebih mudah dari temanku yang bernasib buruk hingga harus menjual seluruh asetnya demi membayar penyakit yang diderita suaminya atau temanku yang punya anak pemabuk, pemakai narkoba. Tuhan, aku selalu bersyukur atas apa yang Engkau berikan, jadi janganlah Engkau memberiku kehidupan seperti teman-temanku itu.” Pintanya kepada Tuhan yang maha Agung. Sekilas ia berharap, kebanyakan ia memaksa.

Saat ini sang manusia mempunyai suami dan tiga anak yang masih kecil-kecil. Sang manusia harus bekerja berjualan banting tulang setelah suaminya berhenti kerja dari bank. Sang manusia bekerja, mengurus anak, kadang-kadang memasak atau membersihkan rumah, namun untung saja suaminya yang pengertian membantu pekerjaan rumahnya. Suaminya pun ikut berjualan, mengerjakan sesuatu yang lain asal tidak ada hubungannya dengan bank. Orang tuanya kadang-kadang meminta ia untuk mengurusinya karena sakit-sakitan. Dengan sedikit waktu ia lakukan semua pekerjaan. Ia tak pernah mengeluh. Kadang ia menyerobot antrian ketika berbelanja saking sedikitnya waktu yang ia punya. Kadang ia pergi ke luar kota bersama suaminya dan anak-anaknya dititipkan. Kadang untuk bekerja, kadang untuk liburan. 

Suaminya tampak terlihat kelelahan. Semenjak ia keluar dari pekerjaannya di bank, hidupnya semakin tak jelas. Kredit rumah dan mobil masih harus dibayar setiap bulan. Biaya sekolah anak-anaknya masih harus mereka tanggung untuk kedepannya. Aset yang mereka miliki belum juga terjual. Ia bersikap keras pada anak-anaknya, terutama yang laki-laki atas kekesalannya pada dunia. Namun istrinya yaitu sang manusia tidak terlalu memikirkannya, karena terlalu sibuk mengurusi produk-produk jualannya. Ia tak pernah mengeluh. Ia tetap bersyukur. Ia selalu berserah kepadaNya. Berterimakasih atas kehidupan yang diberikan olehNya. Kehidupan yang ketika ia bandingkan dengan tetangganya masihlah lebih baik.

Sang manusia tetaplah manusia. Dapat merasakan penat karena keseharian yang diulang-ulang. Ditambah ada banyak hal yang harus ia lakukan, untuk suaminya, anak-anaknya, orang tuanya, adik-adiknya. Menjaga keharmonisan keluarganya. Ia harus tetap tersenyum walaupun penat di dada. Untuk melepas penat biasanya ia mendengarkan dakwah di perkumpulan suatu kelompok religius. Ia mendengarkan sang pakar kereligian berpidato dengan nada yang menarik perhatian khalayak. Ia tinggalkan semua penat di rumahnya, pergi menuju perkumpulan itu, berharap mendapatkan ilmu baru yang nantinya akan membuatnya lebih bersyukur lagi dan lagi.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar