Aku inget waktu masih kerja di Jepang ketemu orang Korea, cewek, terlihat terbuka dari cara ngobrolnya yang friendly. Saat ngobrol-ngobrol dia bilang, “Aku kira Indonesia itu isinya hutan semua.” Kemudian waktu itu juga pernah ada orang Jepang namanya Maiki ngolok-ngolok bahwa Indonesia itu negara miskin yang gak punya banyak makanan. Lucu sih, karena berbeda dengan cewek Korea itu, responku disini marah sambil ngolok-ngolok balik Jepang, bahwa sebenarnya mereka yang miskin bukan kita. Kejadian ini mengingatkanku untuk merefleksikan kembali kelas pascakolonialisme yang sudah ku tempuh selama tujuh pertemuan di Magister Sastra UGM. Di kelas tersebut, sempat membahas buku Edward Said yang berjudul Orientalisme ke dalam tiga pertemuan. Aduh, agak ngebut itu sebenarnya karena tebal bukunya itu 400 halaman dengan size B5. Profesor nyuruh kita bahas dua BAB buku tersebut secara berkelompok. Satu kelompok dikeroyok 14 orang dan satu pertemuan membahas satu BAB. Dari presentasi teman-teman mengenai buku Orientalisme E. Said, dengan permintaan maaf yang tulus, aku tidak memerhatikan semua teman-temanku, karena ya pusing juga aku mendengarkan pembacaan orang yang berbeda-beda. Terkadang mereka juga tidak memakai bahasa yang lugas, malah muter-muter. Aku yo ra mudeng. Kapasitas otakku belum secanggih Profesor.
Intinya Orientaslime adalah sebuah
pandangan dikotomis atau hitam-putih yang membedakan antara Barat dan Timur.
Pandangan ini yang mengawali Imperialisme dan Kolonialisme Barat-Eropa ke
Timur. Timur dipandang sebagai manusia yang tidak maju, biadab, eksotis, dan
hal-hal yang negatif, sedangkan Barat itu sebaliknya. Negara-negara Barat adalah
pusat moral dunia, bangsa paling maju, semua hal yang positif terkandung di
dunia Barat. Gampangnya, Timur itu hitam dan Barat itu Putih. Timur itu kejahatan
dan Barat itu kebaikan.
Pandangan-pandangan dikotomis
tersebut ternyata sangat merugikan kaum Timur yang dianggap sebagai bangsa yang
biadab. Padahal yang aku lihat ini tuh Barat yang sebenarnya tidak bisa melihat
perbedaan. Sesuatu yang berbeda, mereka anggap sebagai sesuatu yang tidak baik
dan bersifat mengancam. Said pernah berkata, bahwa sebenarnya Barat itu
mempunyai sifat yang ambigu terhadap dirinya sendiri. Di satu
sisi Barat itu melihat dirinya sebagai bangsa superior, namun di sisi lain
Barat merasa terasingkan oleh Timur karena perbedaannya dengan Barat. Sehingga ada
tendensi untuk menguasai Timur atau membuat wacana-wacana timur sebagai hal
yang negatif, tujuannya agar Barat tidak tersaingi. Mungkin bisa dibilang,
Barat ini sebagai orang yang iri dan terancam reputasinya akan direbut oleh yang
mereka anggap saingan. Aku selalu melihat Barat ini selain narsis, juga manipulatif.
Contohnya dengan mereka memaparkan wacana-wacana kajian ketimuran di Barat yang
padahal mereka tidak mengkajinya dengan serius, hanya mencocok-cocokan
pengetahuan mereka saja tentang Timur. Mereka itu seperti tipe teman yang kalau
ngobrol ngomongin diri mereka sendiri dan ngomongin kejelekan orang lain
padahal dia hanya denger gosip aja. Gak tau kebenarannya kayak gimana. Menerka-nerka,
karena memang sudah gak suka aja dari awal.
Sayangnya, Said juga pernah berkata
bahwa wacana Barat ini tidak hanya disetujui oleh bangsa Barat yang membuat
mereka semakin menjadi-jadi ya sifat narsisnya, namun juga diamini oleh bangsa
Timur itu sendiri. Sebagai bangsa yang
terjajah, Timur itu dimanipulasi oleh wacana-wacana narsis Barat. Kita
mengamini toh mereka superior, makanya kalau ada bule suka ngerasa punya
pencapaian karena udah foto bareng atau sekedar ngobrol gitu. Aduh! Jadi inget study-tour
pas SMA ke candi Borobudur HAHAHA. Dari sana aku jadi berpikir, oh mental
inferior orang Indonesia itu ya mungkin berangkat darisana. Kita mengamini yang
sering kita sebut ‘di luar negeri’ itu lebih maju yang sebenarnya merujuk pada
negara-negara Barat. Kita itu sebenarnya sedang dimanipulasi oleh wacana-wacana
Barat.
Parahnya lagi, ada istilah Orientalisme
Modern, nih. Berbeda dengan Orientalisme klasik yang membuat wacana
cocok-cocokan doang tentang Timur, Orientalisme Modern ini benar-benar mengkaji
Timur. Khususnya mengkaji Islam. Karena Islam itu merupakan sebuah representatif
Timur. Yang timur banget lah istilahnya. Meskipun mengkaji Timur dengan
penuh semangat, sampai dibaca tuh buku-buku sejarah Islam dan sebagainya. Namun,
tetap aja menurut Said mereka itu masih punya bias pengetahuan tentang Timur
yang kemudian Said menemukan perpektif Orientalisme Modern itu sangat dualistik.
Masih hitam-putih, tidak netral. Contohnya ketika tokoh Orientalis Gibb
(keturunan Inggris-Amerika) mengkaji Islam dan dalam karyanya yang berjudul Modern
Trends in Islam and Mohammedanism: A Historical Survey yang terbit tahun
1940-an. Gibb malah menyebut Islam sebagai Mohammadanism, dan juga berkata bahwa
yang terpenting dalam Islam itu adalah hukum bukan teologisnya (ketuhanan). Padahal
sebenarnya sebaliknya, tidak ada Muslim yang menyebut diri mereka sebagai
Mohammedanism dan menyebutkan bahwa hukum lebih penting daripada teologi. Memang
kemampuan Gibb ini telah disetujui oleh para akademisi Barat. Karya-karyanya
banyak dijadikan acuan akademisi di Barat saat itu. Tapi yang Said garisbawahi
adalah Gibb ini termasuk Orientalisme Modern yang meskipun mengkaji Timur,
namun tetap saja ada bias-bias pengetahuan yang masih tertanam dalam benak
mereka secara tidak sadar. Mereka tetap saja tujuannya masih dalam rangka untuk
menguasai Timur.
Sebenarnya tujuanku bikin esai
ecek-ecek ini jujur saja karena tiba-tiba kepikiran aja. Saat sedang membaca beberapa
cerpen dari Iksaka Banu di antologi cerpen yang berjudul Teh dan Pengkhianat, relfleksi
tentang pascakolonialisme datang begitu saja ke benakku. Aku pikir, lebih baik
refleksi ini ditulis saja, mumpung belum ngantuk.
Akhir kata aku mau mengutip
pengalamanku saat ditanya sama dosen di kelas.
Dosen: “Selvi, kamu kan sudah masuk
kelas pascakolonialisme tiga pertemuan. Menurutmu apa itu semangat pascakolonialisme?”
Aku: “Untuk menyadarkan kita bahwa kita
itu masih memiliki perspektif dikotomis, Pak.”
Dosen: “Iya, lalu semangatnya apa?”
Aku: “Berarti semangatnya adalah
untuk keluar dari perspektif hitam-putih, Barat dan Timur, Pak.”
Dosen: “Nah iya, betul.”
Jujur saja, hari ini aku sedang merasa positif. Jadi, aku mencoba untuk berpikir optimis dalam hal ini. Semoga kita bisa keluar dari pandangan inferior terhadap bangsa kita sendiri. Kita tidak lagi membangga-banggakan Barat sebagai sesuatu yang superior, maju, dsbgnya. Kita harus membuka mata kita kepada kejadian sebenarnya yaitu Barat telah mejajah kita secara fisik dan mental. Dampaknya saja masih dirasakan sampai sekarang. Kita masih termanipulasi dengan wacana hitam-putihnya. Ya, meskipun nggak bisa keluar juga, minimal bisa sadar kalau sebenarnya tindakan kita yang suka menjelekkan bangsa kita sendiri itu adalah akibat dari sejarah panjang kolonialisme. Semoga kita bisa lebih merefleksikan diri ketika mengucapkan, “Nggak kayak di luar negeri ya… Kita mah masih ketinggalan zaman banget.”
Komentar
Posting Komentar