Langsung ke konten utama

Persahabatanku Dengan Kematian

Hari ini, tiba-tiba saja terlintas di pikiranku: "Mati terlihat lebih menyenangkan." Meskipun sebenarnya aku tidak tahu ada hal apa saja setelah kematian itu berlalu. Apakah seperti yang dikatakan oleh agama-agama bahwa ada kehidupan setelah kematian? mungkin akan terkuak setelah aku meninggal. Kebenaran akan adanya surga dan neraka pun akan terlihat. Di dalam kubur aku mungkin akan mengatakan, "Ah apa gunanya orang-orang beribadah, toh tidak ada apa-apa di sini!" atau "Tuhan, kumohon ampunilah dosa-dosaku! jika Engkau hidupkan aku kembali, aku akan bertobat, kumohon!" Teriakku kesakitan di sebuah kolam yang begitu besar berisi air panas mendidih. Skenario setelah kematian dapat aku bayangkan sekarang, tentu saja kemungkinan skenario tersebut aku dapatkan dari sekolah agama saat masih SD, kemudian dakwah-dakwah di pengajian yang sering aku dengar. Dibarengi dengan sikap skeptis, aku lebih memilih untuk diam dan tidak mau percaya apa pun. Tapi bukankah dengan berkata seperti itu sama dengan menyebut diriku sebagai Atheis? Oh tidak, kehidupan ini sudah berakhir bagiku. Aku telah dipastikan oleh orang-orang religius bahwa aku akan masuk neraka kelak karena tidak memercayai apa pun. Walaupun sebenarnya aku percaya adanya sesuatu luar biasa di luar jangkauanku yang ada di alam semesta ini, Dia yang mengatur, bisa saja di sebut Tuhan, tapi terlalu religius bagiku untuk menyebutNya sebagai Tuhan. Jadi, aku pastikan Dia tak terdefinisikan--yang mana artinya pula Dia dapat didefinisikan sesuka hati. 

Tak ada sesuatu yang pasti di masa depan kecuali kematian. 

Itu satu-satunya hal yang aku percaya tentang masa depan, sehingga aku tak perlu cemas tentang kematian. Mereka pasti datang, kapan pun, dimana pun, dan tak akan ada orang yang menyadarinya. 

Kematian telah menjadi temanku sejak dulu. Dia hal terdekat yang pernah aku rasakan kehadirannya. Sebagai seorang pesimis aku selalu melihat sesuatu yang buruk terlebih dahulu sebelum aku berpikir yang baik-baik. Itu yang aku lakukan ketika aku memandang dunia ini--setidaknya kehidupanku dengan segala nasib dan takdir yang menimpaku. Melihat seseorang kesakitan lebih dari sepuluh tahun, setiap hari setelah bangun tidur aku harus dihadapkan pada pemandangan penderitaan orang yang paling aku butuhkan. Keesokan harinya aku didera kecemasan bahwa mungkin hidupnya akan berakhir. Oh, tapi itu benar, hidupnya telah berakhir. Dia tak pernah mempunyai kehidupan yang layak setelah mengalami diagnosis penyakit, dilanjut dengan penderitaan yang menggerogoti tubuhnya, begitu lama, perlahan, dan berat. Dia telah lama mati, pikirku. Hanya saja, jasadnya menolak untuk beristirahat. Menurutku, kondisi seperti ini malah seperti neraka. Dia terus-menerus berharap untuk hari esok, bahwa Tuhan, akan memberikan keajaiban untuk menyembuhkannya. Seperti aku yang mungkin nanti di neraka, berharap Tuhan akan mengampuni dosaku dan bertobat sehingga aku tak perlu merasakan sakit luar biasa karena api membara menyelubungi tubuhku setiap saat. 

Keajaiban begitu dia idamkan. Tak pernah absen sehari pun dia dari beribadah dan berdo'a untuk kesembuhannya. Dia hanya berdo'a, tanpa mau pergi menyeret tubuhnya sendiri menemui dokter-dokter yang hanya menghabiskan harta. Menurutnya, lebih penting menyimpan uang daripada memakainya untuk kesehatannya sendiri. 

Aku melihat dari sana, ternyata tak ada bedanya dunia ini dan neraka. Sama-sama menderita. Entah dari mana pula ia dapatkan kesimpulan bahwa penderitaan yang ditanggungnya selama sepuluh tahun lebih terakhir adalah bagian dari hukuman Tuhan terhadapnya. Dia mengira dirinya telah berbuat buruk kepada banyak orang. Kerap kali ketika dia berteriak saat kesakitan, dia meminta maaf, lalu menyalahkan diri sendiri karena merasa telah menyakiti hati banyak orang. Aku termenung melihat penderitaan itu terus-menerus.  

Sungguh menyedihkan, pikirku. 

Terlihat seperti mengatainya, namun maksudku adalah sungguh menyedihkan dia yang kesakitan begitu lama masih berharap untuk sembuh. Begitu negatif pola pikirku kan? bukankah seharusnya aku memujinya karena begitu kuat dia bertahan karena harapannya untuk sembuh? 

Aku pikir walaupun dia sembuh, tak akan ada kepuasan yang bisa dirasakannya. Kehidupan adalah neraka. Kenyataan adalah pengganggu yang tak pernah diinginkan semua orang. Dia terlalu terjebak dalam ilusi kehidupan yang tak pernah ia alami. Dia tak pernah mengetahui apapun tentang kenyataan. 

Kematian selalu ada di belakangnya, bukankah lebih baik mati daripada kesakitan untuk 10 tahun kedepan? Jika aku yang mengalaminya, aku akan minta izin dokter untuk membunuhku saja. 

Ah, andaikan euthanasia itu legal. Aku akan buru-buru mendaftakan diri untuk mati di umur 30 tahun.

Kematian bagiku seperti sesuatu yang kurindukan, seperti seorang jodoh yang telah lama menanti dan pasti akan bertemu. Aku ingin mempercepat pertemuannya sehingga aku tak perlu merasakan penderitaan setiap harinya. Tak perlu merasa gundah karena rindu. Begitu romantis sampai aku berpikir untuk menikahinya saja. Aku tak pernah berpikir hubunganku dengan sebuah kematian akan begitu rumit. 

Dalam hatiku aku menyesali diri sendiri, mengapa aku tidak religius? sehingga ketika aku merasa sedang menderita aku akan berserah diri pada yang Maha Kuasa, menjadi budak dan hamba sahaya, sehingga keberadaanku tidak berarti lagi, karena yang berarti hanyalah ucapan-Nya. Setiap ucapan-Nya akan terasa begitu menyejukkan, dengan begitu aku tak perlu cemas jika dunia begitu kacau. Ada Dia yang selalu di sampingku. Bahwa ketika nasib begitu buruk, itu bukanlah sebuah penderitaan, namun sebuah cobaan, misi yang harus dilalui. Bukankah begitu menyenangkan menjadi religius? Kepasrahan bukanlah sesuatu yang tidak berarti, melainkan tameng untuk terus bertahan hidup, meskipun dalam kesakitan sekali pun. Sayang sekali, namun aku tidak begitu religius. Aku tak bisa merasakan kesejukkan atas perkataannya yang tak masuk akal sama sekali.

Selama ini aku paksakan untuk menjadi religius, namun tak pernah berhasil. Kata orang-orang aku masih dalam 'fase' yang lambat laun akan berubah seiring umur bertambah. Ada juga yang bilang bahwa aku belum mendapatkan 'hidayah'. Oh, dari sana aku mempelajari diriku sendiri, ternyata aku ini begitu hina, rendah, di mata mereka. Aku tak pernah setara di mata mereka, walaupun aku menjelaskan dengan begitu detail, lelah karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk berbicara ketika mereka tidak pernah mendengarkan. Aku tetap hina, makhluk yang kotor, calon penghuni neraka. Oh neraka, kita lihat saja apakah kau benar-benar ada di kehidupan setelah kematian. 

Begitu muak aku mendengar banyak orang yang menghakimiku karena membandingkan tingkat keimananku dengan mereka. Begitu muak aku mendengar tuntutan untuk hidup menjadi religius seperti mereka adalah hal yang paling ideal. Begitu muak ketika mereka tidak pernah mendengarkan atau mencoba mengerti posisi dan pilihanku. Sedangkan, tidak ada yang peduli kalau aku sendirian bersama kematian. Kami terjebak di suatu tempat yang gelap. Aku masih menginginkan cahaya, namun kematian selalu berada di belakangku, sehingga ketika aku menoleh ke belakang dia selalu mengajakku untuk mundur, mundur, hingga aku ditelan kegelapan. Sampai saat ini aku terus maju, meskipun hasratku menemukan cahaya sudah tidak lagi berarti. Aku pikir, mungkin disini lah tempatku berada. Dalam kegelapan bersama kematian yang selalu mengikuti di belakangku. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar