Langsung ke konten utama

Le Petit Prince: Selamat Hari Raya!


Seketika planet bumi yang ia datangi dikerumuni orang-orang. Ada sekumpulan orang dewasa dan anak berumur 3-8 tahun. Mereka berpakaian rapi, sementara tersenyum memperlihatkan gigi putih bersih nan rapi. Setelahnya bercakap-cakap perihal kebumian. Tidak sama sekali dimengerti oleh Pangeran Cilik. 

"Selamat Hari Raya!"

"Anakmu umur berapa?"

"Usia kandunganmu berapa bulan?"

"Kapan kamu menyusul sepupu-sepupumu menggendong bayi?"

"Studimu lancar? Aku dengar tahun ini kamu sudah harus lulus."

"Prospek pekerjaan jurusanmu apa?"

Sementara ada sekumpulan orang-orang dewasa selain mereka duduk-duduk di pinggir jalan dengan pakaian lusuh, tak memancarkan senyuman keceriaan. Mereka tergeletak seperti seekor anjing jalanan. Ada yg berjalan-jalan mendorong gerobak penuh botol-botol plastik. Ada yang berdiam diri duduk termenung ditemani kucing-kucing liar. Tak ada percakapan yang terjadi diantara mereka. Pangeran Cilik berpikir mengapa mereka tidak bersuara.

"Selamat siang."

"Selamat siang."

"Oh, ternyata kalian mengeluarkan suara!"

Salah satu dari sekumpulan orang jalanan tersebut tidak merespon apa-apa, tidak melakukan apa-apa selain menunduk-nunduk sambil berjalan. Di punggung mereka digendong sebuah kantong besar berisi botol-botol plastik.

"Sedang apa?"

"Sedang mencari.."

"Mencari apa?"

"Mencari uang..."

Tiba-tiba Pangeran Cilik tersentak mendengar gelegar suara tawa dari kerumunan orang dewasa dan anak kecil. Ia menoleh dan melihat mereka mengeluarkan segepok kertas persegi panjang dengan warna yang bermacam-macam. Merah. Biru. Ungu.  

Ia melihat orang dewasa membagikan kertas-kertas tersebut kepada anak-anak kecil berusia 3-8 tahun. Pangeran Cilik merasa tertarik kemudian mendekati salah satu orang dewasa yang sedang membagikannya.

"Kertas apa itu?"

"Ini uang." Pangeran Cilik sedikit menoleh ke arah orang jalanan yang masih menunduk-nunduk tanpa suara.

"Uang itu untuk apa?"

"Untuk membeli segala-galanya."

"Segalanya seperti apa?"

"Seperti rumah, pakaian, dan makanan."

"Bukankah itu benda-benda pokok yang sangat dibutuhkan manusia?"

"Jika tidak ada itu, kita mati."

Pangeran Cilik mengangguk-angguk sambil meletakan tangannya di bawah dagu. Ia telah mengerti apa yang disebut sebagai uang. Lalu ia bertanya lagi,

"Anak-anak kecil ini sudah memakai pakaian, mempunyai rumah dan makanan. Mengapa masih memberikan uang kepada mereka?"

Orang dewasa terdiam sebentar lalu menjawab, "Aku tidak tahu. Ini hanya tradisi yang sudah dilakukan selama beberapa generasi."

"Apa itu tradisi?"

"Sebuah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi menjaga sebuah hubungan baik. Hubungan yang baik dapat bertahan karena tradisi. Tradisi diciptakan untuk menjaganya."

"Apakah menjaga tradisi lebih penting daripada memberi uang kepada yang membutuhkannya?"

"Begini, nak. Kita menjaga tradisi ini tanpa memikirkan orang lain. Kita hanya memikirkan orang-orang yang berkumpul di kerumunan ini saja. Mereka yang biasa kita sebut sebagai saudara. Mereka yang tidak masuk ke dalam perkumpulan ini, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan kami."

Pangeran Cilik kembali mengangguk-anggukan kepalanya. Semua orang dewasa yang ia temui di bumi selalu melakukan sesuatu yang teramat sukar dipahami. Walaupun ia tidak terlalu terkejut, Pangeran Cilik selalu berkata, "Orang dewasa memang amat ganjil."

Pangeran Cilik sedikit menoleh kembali pada kerumunan orang jalanan. Orang yang tadi menunduk-nunduk sedang beristirahat di bawah pohon, terlentang tidur dengan mulut terbuka. Pangeran Cilik memutuskan untuk mendekatinya. Alis Pangeran Cilik kemudian terangkat dan mulutnya sedikit terbuka setelah ia memeriksa detak jatung orang jalanan itu tak lagi bergerak.

 

Selasa, 3 Mei 2022

 

Ada sedikit kaitan yang aku ciptakan antara tulisan di atas dengan novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupery seorang aristokrat Prancis sekaligus seorang pilot yang menerbitkan cerita ini di tahun 1943 dimana setahun sebelum ia diberitakan menghilang dalam penerbangan di Mediterania. Ide ini muncul ketika aku sedang membaca novel Le Petit Prince di tengah perkumpulan para sanak saudara jauh di Hari Raya Idul Fitri. Bosan dan lelah yang menyelimuti pikiranku saat itu mendorongku untuk mencari kegiatan yang lebih refreshing. Saat itu pula aku mulai memperhatikan sekitar. Ada momen ketika aku menemukan sesuatu yang menarik dan berpikir, “bagaimana tanggapan Pangeran Cilik ketika ia melihat situasi ini ya?”. Lalu aku mencoba untuk menuangkannya dalam cerita fiksi—yang mana aku yakin masih banyak yang perlu aku perbaiki, dan inilah hasilnya. Aku sangat mengagumi bagaimana Pangeran Cilik dengan jiwa anak kecilnya melihat sikap dan tindakan orang dewasa yang begitu sulit dimengerti. Ada bagian dari diriku yang selalu ingin bertanya persis seperti karakter Pangeran Cilik, tetapi berhenti dan memutuskan untuk memendamnya sendiri sebab beberapa orang amat jengkel dengan orang yang penuh rasa penasaran. Aku sadar begitu penting karakter Pangeran Cilik di dunia yang sedang kita tempati. 

Hal mengerikan yang dapat terjadi ketika kita sudah tak mampu lagi bertanya adalah ketidaktahuan diri bahwa kita sedang tersesat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar