Langsung ke konten utama

amarah telah habis, lalu apa yang tersisa?

Semuanya seperti berhenti sejenak dalam momen yang aku tunggu-tunggu. Tiada kemarahan yang tersisa, hanya ada secuil harapan untuk masa depan. Pertanyaannya adalah apakah aku pantas mendapatkan harapan hidup? Aku telah kehabisan amarah. Aku tidak mengalami kekosongan. Oh, inikah yang dinamakan hidup? Apakah aku berhak mendapatkan sesuatu yang aku inginkan? 

Selama hidup aku terus diajari untuk memaklumi kesalahan orang lain. Ketika mendapatkan sesuatu yang buruk, aku dipaksa untuk bersyukur. Katanya, tidak ada orang yang seberuntung kau! Aku mulai percaya, bahwa aku beruntung. Hasilnya, aku selalu mempertanyakan setiap kebahagiaan yang datang. Aku tidak tahu apa itu kebahagiaan ketika tragedi patut disyukuri dengan lapang dada. 

Tiada amarah, hanya gelak tawa. Namun, bolehkah aku tertawa ketika membiarkan orang-orang tak beruntung itu menangis? haruskah aku selalu bersyukur sambil melihat bencana? Terluka, mungkin itu yang aku butuhkan. Mungkin itulah yang seharusnya aku rasakan. Lebih baik menderita bersama orang lain daripada berbahagia di atas penderitaan mereka. Semacam orang-orang yang memilih neraka daripada surga. 

Saat bahagia, aku merasa bersalah. Saat sedih, aku berkeluh-kesah. Oh, tak bisakah aku merasa cukup saja? 

Saat sedih, amarahku berkecamuk. Saat senang, ia binasa. Padahal aku telah mengalami kekosongan, namun ia tidak tampak sekarang. Mungkin sedang jalan-jalan. Entahlah, tapi aku pun sedang menunggunya untuk pulang. 

Amarahku telah habis, lalu apa yang tersisa?

Ternyata kebahagiaan pun tak selalu mendatangkan kedamaian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar