Langsung ke konten utama

Konsekuensi dari harapan adalah takut mati



Meminjam lirik lagu Seconhand Serenade - Your Call yg ditulis:

and I'm tired of being all alone, and this solitary moment makes me want to come back home.


Dimulai dari beberapa hari yang lalu saat-saat pikiranku penuh dengan ini itu. Di suatu pagi aku bangun lalu memainkan lagu musik klasik. Chopin - Nocturne no.2 in E-Flat Major, Schumann - Träumerei, Erik Satie - Gymnopédie no. 1. Musik-musik bernada sedih itu entah kenapa seperti berupaya menemaniku dalam kesendirian. Biarlah aku bersedih, tapi mungkin tak akan terlalu sedih jika ada yang menemani.

Kala itu aku merasa kosong dan merindukan sesuatu. Aku pikir setelah melewati beberapa kegiatan dan deadline, pikiranku akan kembali seperti sebelumnya. Namun, ternyata berjalan semakin sedih hingga hari ini.

Aku seperti merindukan sesuatu yang belum pernah aku alami. Aku merindukan seseorang yang belum pernah aku temui. Kekosongan semacam itu yang sering aku alami selama ini. Entah untuk mengisi apa, sebab aku pikir hidupku telah semuanya terpenuhi. Aku memiliki harapan untuk hidup. Aku dikelilingi orang-orang baik. Jadi, untuk apa aku merasa kosong? Apakah aku belum melakukan yang terbaik dalam bertahan hidup?

Beberapa hari yang lalu pula, aku hampir tertabrak. Diambang hidup dan mati. Hal itu sangat merefleksikan banyak hal padaku. Tentang kehidupan. Tentang kematian. Tak kusangka-sangka, aku takut mati.

Dulu, aku pernah bilang, "aku tak takut mati, hanya saja aku tidak mau merasa terlalu kesakitan saat sekarat."

Kali ini berbeda. Aku takut mati. Aku tidak mau menghilang dari dunia ini. Aku pikir, ini semacam konsekuensi saat menemukan harapan besar untuk hidup. Saat-saat diriku dikelilingi oleh kondisi terbaik dan ideal, batinku meringis kesakitan. Katanya, jangan dilanjutkan, kalau tidak kau akan kacau.

Mungkin. Selalu kata itu yang aku gunakan untuk menantang kesadaranku mengenai diriku sendiri. Kata "mungkin", memberikanku pilihan bahwa bisa saja persepsi tentang diriku ini keliru. Keliru bahwa aku tersiksa dengan kondisi terbaik yang diberikan-Nya. Mungkin aku hanya lelah. Mungkin semua ini hanyalah sesaat. Layaknya kebahagiaan, kekosongan pun bersifat sementara. Mungkin. Mungkin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar