Langsung ke konten utama

Aku Hanya Bisa Tidur Nyenyak di Kereta

Tak lama setelah aku menginjakkan kakiku di sebuah bangunan yang sempat kutinggali waktu kecil hingga remaja. Suatu bangunan yang kusebut sebagai rumah. Akhirnya, aku bisa tidur nyenyak di dalam kereta.

Sebuah ruangan 4x4 meter yang telah menemani masa remajaku. Ruangan-ruangan luas yang terlihat sempit karena barang-barang di dalamnya tak pernah ditata dengan rapi. Kursi-kursi dijejerkan di ruangan tengah tanpa batas dinding langsung melompong ke arah halaman rumah, sengaja disediakan untuk saudara-saudara beserta anak-anaknya, para mantu, atau mertua ketika datang bertamu. Suatu ruangan yang menyimpan masa kecilku.

Kali ini setelah meninggalkan bangunan itu, aku memejamkan mata, mengingat-ingat betapa masa kecilku tak begitu berkesan lagi. Kecintaanku pada musik yang bermula di sebuah ruangan 4x4 meter. Di sana telah kuhabiskan waktu berjam-jam hingga menjadi awal obsesiku, tetapi tak berkembang menjadi apa-apa di umurku sekarang. Kenangan-kenangan buruk yang mengendap dalam memoriku, membuatku tidak bisa tidur. Aku hanya ingin tertidur kali ini. Nyatanya, aku hanya bisa tertidur nyenyak di kereta.

Saat memutuskan untuk merantau, aku diliputi rasa bersalah yang besar sebab aku harus meninggalkan Mamah. Mamah yang sedang sakit. Saat aku mendapatkan kesempatan untuk pergi dari negara ini, aku diliputi rasa bersalah sebab harus melanggar keinginan Mamah untuk tetap berada di dekatnya. Tak boleh jauh secara raga. Nyatanya, saat aku mencoba berkomitmen untuk tetap bersama Mamah dan keluarga, tidak pernah aku temui kasur yang membuatku tidur nyenyak sepanjang malam.

Aku telah sadar sejak lama bahwa tidak ada yang pernah menanyakan kabarku begitu aku pergi dari rumah untuk merantau. Katanya, aku terlalu tertutup. Tak pernah bercerita. Aku mengakui itu, tetapi tidak sepenuhnya. Alasanku tidak pernah bercerita adalah mereka tidak pernah bertanya. Mereka hanya bercerita tentang kesusahan mereka menghadapi satu sama lain. Bahwa yang lain telah melakukan kesalahan yang merugikan kehidupannya. Setiap aku pulang ke rumah, kalimat pertamakali yang aku dengar adalah keluhan-keluhan dari masalah yang mereka hadapi selama aku absen dari dalam rumah. Keluhan-keluhan itu aku artikan sebagai sebuah permintaan tolong dan betul saja itu pun yang bapak selalu ucapkan, "tolong bantu bapak mengurus adikmu". Bapak selalu berusaha untuk memusnahkan sesuatu yang mengganggu bagi kehidupannya. Ia sulit menghadapi rasa sakit, rasa tidak nyaman. Ia selalu mencari solusi agar setiap masalah yang datang dapat dipecahkan. Setidaknya, walaupun tak terpecahkan, ia tak mau mengakui atau sekedar merasa bersalah atas masalah yang ditimbulkannya. Ia seperti robot yang tidak pernah tahu cara hati bekerja. Memenjarakan empati demi nafsu hasrat duniawi.  

Di sisi lain, Mamah menginginkan anak-anaknya mengurusnya setidaknya ada setiap saat ia butuh. Selain aku, semua saudaraku tinggal di kota yang sama dengan Mamah. Jarak waktu tidak pernah menjadi masalah. Namun, jarak hati terlampau jauh tak terhingga dalam keluarga ini. Kami selalu berusaha untuk mengeluhkan setiap permasalahan dalam hidup masing-masing, saling mengkritisi kekurangan, tanpa pernah mencoba untuk mendekatkan jarak hati satu sama lain. Alhasil, tak ada yang mampu berpikir selain untuk dirinya sendiri. Termasuk aku.

Semua orang dalam keluargaku mengandalkanku untuk berkomunikasi. Alasannya adalah sebab aku yang paling bisa diajak bicara dua arah. Katanya juga, aku bukan orang yang sering berbuat onar. Katanya, aku selalu terlihat menjadi anak yang baik dan patuh. Mungkin mereka mengira semua permasalahan hidupku bisa aku atasi sehingga ketika terjadi masalah yang tak bisa terselesaikan dengan sikap mereka sendiri, ketika terus menerus menyalahkan keadaan dan ingin lepas tangan, maka mereka memintaku untuk menolongnya. Mungkin mereka pikir, aku bisa menolong mereka. Setiap saat aku pulang. Setiap saat aku menginjakkan kakiku di sana. Mereka seperti memintaku untuk mengorbankan segalanya demi mengangkat beban hidupnya.

Aku telah mendengarkan masalah demi masalah, mencoba segala sesuatu seperti yang mereka inginkan. Namun, aku selalu lupa apa sebenarnya yang aku inginkan. Aku ingin hidup demi diriku sendiri. Aku ingin mencari tahu seperti apa kehidupanku di masa depan tanpa terikat dengan permasalahan ini. Bagaimana jadinya aku tanpa permasalahan ini? Apakah aku bisa melalui ini semua? ataukah aku akan terjebak dalam keadaan ini seumur hidupku? semua kekhawatiran ini aku kubur, tak pernah aku sadari sebelumnya. Sekarang, harapanku yang pasti adalah aku ingin tidur nyenyak. 

Setiap kali aku menginjakkan kakiku di bangunan itu, aku tidak pernah tidur nyenyak. Kasur empuk bak jalan aspal di bawah kolong jembatan. Aku lebih memilih untuk tidur di atas kursi kereta yang aku beli tiketnya seharga 80ribu dengan kursi 90 derajat, dengkul kaki yang saling beradu dengan penumpang yang lain, daripada aku tidur di kasur spring bed di kamar ukuran 4x4 meter yang telah kutempati selama bertahun-tahun. Di dalam kereta aku tak perlu khawatir karena aku dan orang-orang asing mempunyai tujuan masing-masing. Tanpa saling menghiraukan satu sama lain, kami akan menjalin hubungan sekadarnya. Kami sedang menghadapi masalah masing-masing, tanpa perlu mengeluhkannya satu sama lain. Keadaan dalam kereta adalah keadaan paling ideal hingga memaksaku untuk tidur begitu nyenyak. 

Orang asing yang duduk bersamaan di kursi yang berhadapan lebih terasa seperti teman daripada dengan orang-orang yang telah saling mengenal berpuluh-puluh tahun, tinggal di atap yang sama. 

Saat berada di bangunan yang kusebut sebagai rumah, betapa sering aku bertanya, "inikah yang dinamakan rumah?"

Aku bisa menangisi diri sendiri setiap saat aku datang ke bangunan ini. Merasa asing dan tak berharga. Seakan aku lahir hanya untuk menyapu kotoran-kotoran yang mereka telah sebarkan.

Meminjam lirik lagu Kings of Convenience:

"Homesick, cause I no longer know, where home is."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Share Thoughts: About God

Ada tiga jenis stres yang aku rasakan selama ini: 1.        Stres saat memikirkan masa depan 2.        Stres saat memikirkan penyesalan masa lalu 3.        Stres saat memikirkan apa yang sedang aku lakukan sekarang Aku mengerti bahwa hidup tak akan lepas dari masalah, masalah adalah bagian dari hidup. Satu masalah selesai, akan datang masalah lain, dan seterusnya sampai jika masalah itu tidak datang kembali itu berarti kita sudah mati. Tapi aku diberitahu dari kecil bahwa setelah kematian akan ada hari pembalasan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan di dunia. Nah, bahkan setelah kematian pun masalah akan tetap datang—Ah, rasanya hidup atau mati itu sama saja, ya? Hidup dengan tenang, nyaman, tentram, damai adalah tujuan semua manusia yang lahir ke dunia ini. Namun, hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat merasakannya. Beruntung? Sebenarnya aku benci kata-kata itu. Namun tak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan orang yang lahir dengan keadaan beruntung—s

Kekosongan

Ini adalah cerita tentang manusia yang memilih untuk terus hidup demi menjalankan hasrat dan tujuan untuk mencapai kebahagiaan absolut, tak terhingga, sepanjang masa. Ia sudah melakukan hal yang benar menurutnya sendiri. Mencatat hal-hal apa saja yang harus ia lakukan selama hidup. Ia ceklis hal yang sudah tercapai, kemudian dengan semangat membara terus berproses agar ia bisa menceklis lebih  banyak. Tapi ada yang aneh. Setelah menceklis satu hal ia mengalami euforia luar biasa. Ia berjingkrak-jingkrak, secara fisik dan roh. Ia berteriak, “Akhirnya aku menceklis satu hal!” Suatu hari ketika sedang bercermin ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Setelah ini apa?”. Ia berusaha untuk menjawabnya dengan optimis, “Oh aku akan menceklis lagi hal yang selanjutnya.” Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Untuk apa aku menceklis hal ini?” Tujuan yang pada awalnya sangat ia impikan untuk diraih, lama kelamaan malah menjadi sebuah pernyataan besar, “Untuk apa?” Awalnya ia mengira inilah tujuan

Mungkin Kita Telah Mati, Namun Tidak Mengetahuinya

Di suatu waktu aku bertanya, “apakah aku masih hidup?” sesuatu dalam diriku berharap aku telah mati, sehingga semuanya dapat masuk akal. Kekacauan (chaos) yang selama ini kita hadapi sehari-hari dalam kehidupan. Keinginan, hasrat, kontradiksi, paradoks yang selalu hadir untuk membingungkan kita tentang definisi hidup. Manusia berlarian kesana-kemari mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa itu hidup? Dan siapakah kita?” Kita dibuat se-kompleks mungkin, se-detail mungkin, sehingga sulit untuk melihat secara utuh tentang keberadaan kita. Akhir-akhir ini aku mempertanyakan lagi, “Apa itu hidup?” dan mungkin pertanyaan ini sudah lama ditanyakan, sudah muncul juga banyak jawaban alternatif, sudah banyak teori-teori yang menjelaskan tentangnya, tapi tak pernah ada yang memuaskan. Buktinya pertanyaan ini tak pernah usai untuk ditanyakan di berbagai era. Kekacauan hidup yang aku hadapi selama ini malah membuatku berpikir,  Mungkin kita sebenarnya tidak benar-benar hidup, tapi sedang benar