“I’m content with loneliness.”
Aku
mengupingnya dari sebuah lirik lagu. Sebuah lirik dari lagu melankolis yang
sedang diputar dari laptopku. Sepenggal bait lirik lagu ini mengingatkanku pada
kehidupan yang telah kulalui sampai hari ini. Sepi dan kosong. Aku suka menyendiri. Sendirian bukan sesuatu yang aneh bagiku. Malah, rasanya
semuanya akan baik-baik saja jika hanya ada aku dan diriku. Semuanya akan lebih mudah untuk
dikendalikan daripada bersama orang lain. Aku akan dilanda
rasa bersalah jika orang
lain harus menyesuaikan diri dengan diriku dan sebaliknya. Rasanya sesak
napas ketika harus
setiap saat menyesuaikan diri dengan orang lain. Walaupun kedua kegiatan
tersebut tidak sepenuhnya tidak menyenangkan. Hanya saja, akan lebih baik jika di
penghujung malam aku sendirian.
Setelah
memperhatikan tindakanku sendiri aku berpikir apakah ini yang dikatakan dengan
‘content with loneliness’? atau apakah ini hanya alasan saja untuk menyangkal
kehadiran sepi dalam diriku? Berpura-pura untuk tidak sepi saat sedang sendiri.
Mungkin aku hanya tak terlalu mengerti apa artinya
kesepian. Jika kesepian itu hidup sendirian, apa yang ditakutkan orang-orang? Mengapa
mereka sangat takut dengan itu?
Beberapa saat setelah aku menuliskan hal-hal
di atas, muncul sebuah pemikiran untuk memecahkannya. Mungkin lebih terdengar
seperti mengacaukannya. Terkadang suara-suara dalam pikiranku saling berteriak
hal-hal yang kontradiktif, sehingga aku harus mengeluarkannya satu per-satu. Berharap
agar mereka menemukan harmoni dalam pertengkarannya. Nah, lanjut.
Di dalam perjalanan hidupku, aku tidak secara
harfiah sendirian. Aku selalu menemukan teman. Aku menilai pertemanan dengan
baik. Aku menghargai kehadiran mereka—teman-temanku yang berjarak ruang dan
waktu itu. Aku menilai mereka bukan dari seberapa sering mereka di sisiku,
namun apa yang telah mereka lakukan kepadaku. Kebaikan-kebaikan mereka yang
tulus aku terima dengan rasa syukur. Ketulusan mereka selalu tertanam dalam benakku,
sehingga aku tak merasa sepi. Sebab aku tahu, aku dicintai.
Namun terkadang momen kesepian tetap terjadi
ketika realita sedang blur.
“Apakah ada yang mencintaiku?”
Pertanyaan ini juga sering terlintas di
benakku. Sangat kontradiktif dengan apa yang telah disampaikan barusan, bukan? Tapi
ini benar adanya terjadi. Sulit untuk dimengerti memang, apalagi bagi yang belum
pernah mengalaminya. Mungkin karena aku pernah depresi, mungkin karena masa
kecilku atau apalah yang berkaitan dengan psikologi. Aku selalu mencoba untuk
merangkai alasan-alasan mengapa pertanyaan tersebut bisa muncul tiba-tiba.
Kemudian tersadar, aku telah kehilangan momen “content with loneliness.” Tiba-tiba
aku bisa mengerti apa itu artinya kesepian dan sendirian. Aku butuh bersama
orang lain. Aku harus mencari orang lain untuk memenuhi rasa sepi ini. Aku
takut tenggelam dalam lubang sepi dan gelap ini selamanya. Aku ingin seseorang datang dan menarikku kembali ke atas untuk menemukan sebuah dunia yang dipenuhi
cahaya.
Semuanya terasa tak terkendali. Sesekali aku
menangis atau berdiam diri, mengeluh dengan kebosanan hidup, menyalahkan
keadaan, bertengkar dengan Tuhan. Sampai akhirnya aku benci diriku yang seperti
itu. Kosong dan hampa. Berusaha untuk mendistraksi diri dengan mencoba menemukan
sesuatu yang bisa kukendalikan. Saat seperti itu, tak ada harapan yang tersisa.
Hanya ada keinginan untuk mati atau mencoba mati-matian untuk hidup hari ini.
Di saat seperti itu aku tersadar lagi, di
dalam situasi itu hanya ada aku dan diriku yang saling menyakiti. Aku sadar
bahwa orang lain tidak akan bisa menolongku jika hanya mereka yang berusaha.
Aku juga harus menolong diriku sendiri. Aku hanya harus mencari caranya.
Maka, aku mencari cara untuk mendapatkan momen
“content with loneliness” lagi.
Misalnya dengan mengingat bahwa teman-temanku telah
mengasihiku, rela menyodorkan ruang dan waktunya hanya untuk bersamaku, lalu menyapa
lagi mereka. Mengobrol sebentar mengenai aktivitas mereka dan apa yang mereka
pikirkan atau rasakan tentang hal tersebut. Biasanya disambung dengan cerita
nostalgia, cerita-cerita lucu atau berbagi hadiah. Dengan begitu, maka tinggal
tunggu cukup waktu saja bagiku untuk berputar lagi menghadapi realita
kehidupan. Aku ditarik oleh mereka yang tulus—sadar atau tidak, dan oleh diriku
sendiri, sehingga aku bisa menemukan kembali cahaya. Mungkin untuk sementara. Tapi
tidak apa-apa, kenyataan bahwa aku bisa menolong diriku sendiri dan ada orang
lain yang mau menolongku, itu sudah cukup bagiku untuk menghadapi esok hari.
Ada saatnya aku menemukan diriku sedang
bersyukur, diriku yang puas dengan keadaan begini-gini saja. Ada saatnya aku
meraung kesakitan karena merasa ditinggalkan semua orang. ‘Aku yang beryukur’
berganti dengan ‘aku yang gelap’. Silih berganti, berputar-putar sampai hari
ini dan mungkin sampai mati. Kadang aku mengeluh, bisakah hanya ada ‘aku yang
bersyukur’ di dunia ini?
Percobaan untuk menerima diriku apa adanya ini
tentu bukan jalan yang mudah. Aku sedang mencoba. Mungkin beberapa orang tak
akan mengerti. Tapi aku terus mencoba untuk selalu bergantung pada ‘content
with loneliness’. Mungkin itu juga yang membuat hari-hariku baik-baik saja. Sebab
aku kesepian. Sebab “I’m content with loneliness”
*Diambil dari lirik lagu The Only Exception –
Paramore
18 April 2023
Komentar
Posting Komentar